• Home
  • About
  • Contact
    • Email
    • Instagram
  • Category
    • Timelapse
    • Thoughts
    • Renjana
  • Kebijakan Privasi
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

LUMINOUS

when it's all dark, the only thing we need is a light

 


Beberapa hari terakhir, saya disibukkan dengan ujian. OSCA, OSCE, Ujian Tulis, Ujian Hidup. Rasa-rasanya Ujian Hidup sudah ada sejak lama, tapi tidak apa-apa. Saya tuliskan juga. Hampir setiap hari dihabiskan untuk menghafal prosedur tindakan, penghitungan, pengkajian. Tapi pada akhirnya tidak memuaskan sama sekali. Saya tidak mempelajari hal-hal minor yang seharusnya dianggap penting. Saya melakukan prosedur dengan urutan yang benar namun ada hal yang terlewat hanya karena ingin bergerak cepat.

Beberapa notifikasi dari tim redaksi jurnal yang menghubungi saya juga turut membuat Desember ini menjadi gaduh. Kabar baik dan kabar buruk datang bersamaan. Kabar baiknya, artikel saya layak publikasi. Kabar buruknya, saya harus merevisi beberapa hal yang saya sendiri belum tahu bagaimana cara merevisinya. Belum mempelajari tentang hal itu. Dan setelah saya telisik, ternyata itu adalah hal dasar yang seharusnya dikuasai sebelum melakukan penelitian.

Dan dari sana, ada satu hal buruk yang saya sadari dari diri sendiri

Saya belum bisa berjalan pelan-pelan dan sering melewatkan banyak hal. Padahal hidup bukan arena lari cepat. Saya terlalu terburu-buru mencapai sesuatu padahal, Tuhan saja membuat bumi dan seisinya tidak dalam satu hari, tidak sombong meskipun menciptakan semesta dalam sehari saja sangat mungkin bagi-Nya. Tapi saya, yang masih remahan ini merasa sangat ingin berjalan dengan cepat. Mencapai sesuatu secepat mungkin. Semakin cepat semakin bagus. Tapi seringnya, malah banyak hal tertinggal. 

Saya sudah tidak lagi menyamai langkah kaki orang lain dan memilih langkah yang berbeda. Tapi, saya belum bisa mengontrol langkah kaki saya sendiri. Melangkah terlalu lebar. Melewati banyak rambu dan pijakan. Payah!

Jadi semoga, tahun 2022 bisa berjalan dengan pelan. Semoga saya tidak melewatkan hal-hal minor. Semoga tidak (lagi) terburu-buru mencapai sesuatu. Sebab hidup bukan arena berlari cepat, jadi saya berharap saya bisa memproses semuanya; pelan-pelan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Sekarang dengar,

Tak peduli sekeras ataupun sekurang apa pun kamu berjuang, semua sudah diramu oleh Tuhan. Tanganmu tidak akan pernah menang melawan tangan-Nya. Jadi, alih-alih mengkhawatirkan apa yang akan terjadi ke depan, mengapa tidak kau percayakan saja pada yang sudah andal? Ya. Semesta.

Aku tahu, kamu sudah pernah membaca tentang “Semesta, Cita-cita dan Pergeserannya” bukan? Kamu begitu mahir mengartikan semesta dan mengikuti apa maunya ketika itu. Jadi sekarang, mengapa harus mengikuti langkah orang lain, jika bisa mencoba langkah yang berbeda? Mengapa harus menyamakan langkah jika kamu justru lebih pandai dalam menikmatinya?

Jangan pernah lupa bahwa sejatinya, manusia dilahirkan utuh bersama dengan senang dan sedih;

Menang dan kalah,

Luka dan cinta,

Percaya dan kecewa,

Mudah dan sulit,

Lelah dan syukur.

Kamu sudah berjalan di atas jalur yang semestinya. Sudah sesuai dengan rencana Tuhan. Tidak ada yang salah. Kamu dibuat lemah agar saat kamu sudah lebih kuat, kamu tidak congkak dan menindas lainnya. Kamu dibuat kalah agar saat mendapat kemenangan, kamu tidak membusungkan dada melainkan menghargainya. Pun dengan sedih, kamu banyak merasakannya agar nanti, jika suatu hari badai besar hadir di dadamu, kamu sudah terbiasa dan mahir meredamnya. Tuhan begitu baik memberikanmu masa-masa yang sulit, semata-mata untuk menyulut jiwamu yang sebenarnya.

Kamu terus memikirkan tentang “Bagaimana Jika Nanti” padahal Tuhan sudah merencakan banyak hal untukmu, dan rencana-Nya adalah yang paling baik. Lihat lagi ke belakang, setelah masa sulit, bukankah hal sederhana bisa menjadi suatu yang sangat istimewa?

Tenanglah, semesta menaungimu. Dan segeralah dewasa. Ambil langkah yang berbeda: langkah yang bisa kamu nikmati selama perjalanannya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Pukul tiga dini hari, aku terbaring menghadap langit-langit kamar dengan tatapan yang kosong. Lelah. Khawatir. Takut. Bahuku terasa pegal dan berat saat kepalaku memikirkan beban-beban hidup--ah bukan--beban pikiran saja sepertinya. Tapi ternyata, sulit yah, menjadi dewasa. Kemudian aku menarik napas panjang berusaha melonggarkan dada yang semakin sesak dengan rasa ketidakberdayaan.

Lambat laun muncul pertanyaan-pertanyaan yang diawali dengan "bagaimana jika nanti..." silih berganti di lorong-lorong kepala yang tak lagi kosong. Mereka mengacaukanku yang tengah berusaha memejamkan mata menjemput mimpi di alam sana. Dan aku menjadi benar-benar takut--dan payah.

Gemericik hujan di luar seperti menderamatisir suasana. Memperjelas kekhawatiran anak manusia yang masih tidak tahu apa-apa diusianya yang hampir kepala dua. Aku takut dengan hidup, takut dengan keputusan-keputusan besar yang akan kuambil di depan, takut dengan tanggungjawab yang pasti akan kuemban. Aku yang rapuh ini, apakah bisa? Lagi-lagi kepalaku memunculkan pertanyaan dengan awalan "Bagaimana jika nanti...". Sungguh ini adalah beban.

Aku belum tahu jawabannya sekarang. Kepalaku masih riuh dan kacau. Ingin rasanya aku cepat-cepat menyudahi semua ini tapi semesta selalu saja begitu. Saat kuingin berjalan cepat, semesta memintaku berjalan perlahan, merasakan semua perih, luka, dan sakit yang--katanya--akan mendewasakan.

Tapi bisa apa aku dalam semalam?

Ingin rasanya aku membersamai hujan di luar sana. Jatuh dari langit lalu menguap esok harinya tanpa peduli apakah aku akan kembali menjadi awan atau justru diterbangkan angin sampai menghilang. Tapi benarkah itu yang aku mau?

Pagi nanti masih ada mama yang akan tersenyum pada anaknya ini, yang belum bisa mandiri. Siang nanti ada ayah yang minum kopi sambil bercerita tentang harapannya yang belum terpenuhi. Lalu apa yang akan aku tunjukan pada rumput-rumput liar di balik pagar rumah itu jika aku menyerah secepat ini. "Bagaimana jika nanti..." AH!

Kapan ini semua akan selesai?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Belasan tahun sudah habis dengan sendirinya. Habis untuk berlari, tertawa, mengkhayal, menjauh, menghindar, mengejar, menangis, jatuh, berkeluh-kesah, hingga hampir menyerah. Ingin rasanya menegasi diri sendiri: bahwa semesta tidak selalu ramah. Bahwa ada banyak hal yang sudah cukup dibiarkan saja. Tidak usah menyalahkan diri sendiri terus. Tidak perlu membebani diri atas semua yang terjadi di luar kendali.

Satu hari, satu tahun sekali, dan sudah terulang sembilan belas kali. Tapi apa yang berbeda? Aku masihlah manusia dengan topeng berbagai macam rupa. Masih tinggal di dunia dengan khalayak yang berkemampuan pura-pura yang sama. Tidak banyak berubah. Hanya kumis dan jenggot yang mulai menebal mengganggu pemandangan. Juga ada bekas jerawat yang tidak mau hilang meski sudah skincare-an. Sisanya tetap sama. Entah waktu yang berjalan begitu cepat atau aku yang bertumbuh terlalu lambat.

Momen sekali setahun ini pada akhirnya menyadarkan aku bahwa waktu tidak pernah memberikan apapun kecuali kesempatan dan masa lalu. Masa lalu memberi tahu bahwa bertumbuh menjadi dewasa bukan tentang seberapa besar angka yang tertulis di kolom umur lembar identitas. Tapi bertumbuh dewasa adalah tentang memantaskan diri disetiap kesempatan yang ada. Memantaskan diri untuk layak menjadi asli.

Kita sepakat bahwa dunia tidak selalu baik. 

Banyak sapa yang tak bernyawa. 

Ramai kepedulian yang hanya sekadarnya saja. 

Dan kurasa kita juga sepakat bahwa selama ini kita selalu ingin menjadi layak untuk sudut pandang orang lain. Layak di baris-baris cerita mulut orang lain. Kita sibuk membersamai orang lain sampai lupa bahwa jiwa yang sebenarnya juga perlu dibersamai diri sendiri. Kita takut ditinggalkan banyak orang padahal seburuk-buruknya kehilangan adalah kehilangan diri sendiri.

Bertumbuh tidaklah mudah, tapi tidak akan ada bahagia sebelum merasakan penderitaan, bukan? 
Seperti tanaman yang bertumbuh untuk berbunga, sepertu itulah kita yang bertumbuh menjadi dewasa: berusaha menumbuhkan daun, menyirami akar dengan syukur, berfotosintesis dengan doa, kemudian pada akhirnya, bunga akan bermekaran.

***

Kepada semuanya yang sekali lagi berkesempatan membuka lembaran baru, kita pernah sama-sama merisaukan masa depan. Pernah sama-sama menyesali masa lalu. Untuk saat ini, sudah bukan lagi tentang seberapa banyak tahun yang terhitung dalam hidup, melainkan seberapa 'hidup' kita dalam satu tahun yang kita punya.

Selamat ulang tahun, kita
Semoga dimudahkan proses bertumbuhnya, dikabulkan harapan dan impiannya.
aamiin

Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

“Apa cita-cita kamu?”

Bagi saya yang masih duduk di bangku SD dulu, pertanyaan ini sangatlah klise dan mudah dijawab. Chef tentu saja. Dari kecil saya ingin menjadi chef. Tapi beda cerita setelah saya lulus SD. Beranjak remaja, cita-cita saya berubah. Di SMP saya ingin menjadi dosen. Tapi tidak berlangsung lama. Menjadi dosen harus melalui proses pendidikan yang panjang. Bisa tua di sekolah saya nanti. Di awal SMA, orientasi saya tentang cita-cita mulai berubah. Saya mulai mencari pekerjaan yang akan menghasilkan banyak uang dengan waktu yang relative cepat. Saya ingin menjadi pegawai di pertamina, atau holcim saja. Setahun kemudian, cita-cita saya berubah lagi. Menjadi pegawai memiliki banyak celah. Saya bisa di PHK, habis kontrak, dan lain-lain. Cita-cita saya berubah dari waktu ke waktu tapi tidak ada satupun yang terwujud.

Hidup itu dinamis. Manusia itu dinamis. Semesta selalu bergeser dan mau tidak mau kita akan mengikuti pergeseran itu. “Kita bisa melawan arus!” Tentu bisa tapi pada akhirnya bukankah semesta akan menggeser posisimu juga?

Cita-cita saya kemudian berubah lagi. Saya ingin menjadi PNS. Cara tercepatnya adalah masuk sekolah ikatan dinas. Sekretaris daerah adalah hal yang menarik bagi saya waktu itu. IPDN menjadi tujuan utama saya saat kelas 11. Tapi kan saya sudah bilang, semesta selalu bergeser. Dan ya, cita-cita itu harus kandas lagi. Semesta menggeser saya dengan cara lain. Mama tidak setuju. Kemudian saya mengganti cita-cita saya lagi. PKN STAN adalah pilihan terakhir. Boleh ataupun tidak boleh, saya tetap ingin mewujudkan cita-cita terakhir saya. Sudah kelas 12, tidak ada waktu lagi.

Saya belajar dengan tekun. Mulai dari buku, internet, instagram, grup whatsapp, telegram, google classrom, bahkan platform-platform try out online. Saya belajar dengan keras. Bisa dibilang dari pagi hingga pagi. Hingga waktu ujian tiba, semesta lagi-lagi menggeser saya. Saya tidak lulus.

Saya gagal. Saya manusia gagal!

Saya memusuhi semesta. Memusuhi siapa saja termasuk diri saya sendiri. Saya tidak mau makan, tidak mau bangun dari tempat tidur. Saya tidak bicara, tidak melakukan apa-apa. Saya benci semesta!

Sehari setelah saya ujian dan tidak lulus, semesta menggeser saya lagi. Pengumuman SBMPTN mengatakan bahwa saya diterima di satu universitas ternama dengan jurusan keperawatan. Apakah saya bahagia? Tidak sama sekali! Saya semakin membenci semesta.

Mengapa cita-cita yang saya perjuangkan tidak berhasil, sedangkan hal yang tidak pernah saya perhatikan membawa kabar baik?! Kenapa bukan USM saya yang lulus, melainkan UTBK yang bahkan saya tidak belajar untuk mengikutinya?

Semakin bergeser, semakin banyak yang semesta ajarkan pada saya—semoga pada kalian juga. Lambat laun, pemikiran saya terhadap perawat bergeser. Tidak lagi tentang jurusan yang tidak saya inginkan, bukan lagi tentang pekerjaan yang ‘tidak berharga’, bukan lagi tentang seorang ‘pembantu’ dokter—yang mana kata ‘pembantu’ adalah rendahan. Tapi tentang begitu banyak peluang di depan saya. Saya masih bisa melanjutkan cita-cita saya yang dulu: PNS. Pun bisa melanjutkan cita-cita saya yang lain:

Chef? Tidak harus menjadi chef, saya bisa membuka usaha bagi chef-chef di luar sana. Meskipun saya adalah seorang perawat, tidak ada larangan bagi seorang perawat untuk membuka usaha bukan? Dosen? Hanya masalah waktu, saya bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi dan menjadi dosen.

Meskipun tidak semua, tapi andai saja kita bisa merubah sedikit, menggeser pemikiran kita tentang cita-cita, tidak akan ada lagi rasa kecewa dan gagal. Kita tidak akan terus-terusan membenci semesta yang berulang kali menggagalkan usaha kita. Dan pada akhirnya, cita-cita bagi saya bukanlah hal yang harus sama dari waktu ke waktu. Bukan lagi hal yang jadi satu-satunya pemberhentian di kehidupan. Bukankah hidup dan manusia itu dinamis? Jadi bagi saya,

Cita-cita adalah apa yang mampu membuat kita bergerak. Dibantu semesta dan semua pergeserannya, saya yakin kita akan sampai pada suatu cita-cita yang tepat. Tidak mudah, tapi tidak juga menjadi alasan bagi kita untuk menyerah.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Categories

Renjana (13) Timelapse (5) Thoughts (3)

Kamu Pembaca yang Ke-

Followers

Popular Posts

  • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
      Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu meras...
  • Satu-satunya, Segalanya
    Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah har...
  • HALU: SUATU HARI NANTI
      Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan leng...

Blog Archive

  • ▼  2022 (6)
    • ▼  November 2022 (1)
      • HALU: SUATU HARI NANTI
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  May 2022 (2)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  September 2021 (2)
    • ►  January 2021 (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  June 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  February 2020 (2)
    • ►  January 2020 (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
Powered by Blogger.

Created with by ThemeXpose | Delivered by Nur Hidayat