
Satu malam penuh, aku ditemani oleh suara-suara nyaring yang bersahut-sahutan di luar sana. Orang berganti-gantian melantunkan takbir yang katanya, menyiratkan kebahagiaan menyambut datangnya perayaan fitri. Tapi jika direnungkan lagi, benar memang beberapa orang merasa senang. Tapi tidak semua. Beberapa lainnya merasa sedih. Lalu aku hanyut dalam pikiran-pikiran itu. Benarkah kita harus mengglorifikasi perayaan ini sementara ada sebagian orang lain yang sedang menangis?
Entah.
Menangis karena tidak bisa pulang, tidak bisa bertemu
dengan saudaranya yang berbeda kota atau pulau. Atau menangis karena takut,
tidak bisa menjamu orang-orang yang datang besok pagi. Atau menangis karena
hal-hal yang mereka pendam sendiri, di bawah ramainya orang yang bergembira.
Sedih, di bawah kesenangan orang lain.
Apakah benar, mengganggu jam tidur orang dengan suara-suara yang asing bagi mereka, adalah hal yang dianjurkan?
Satu bulan penuh, aku ditempa untuk rendah hati dan menghargai orang lain. Menahan lapar dan haus, untuk merasakan bagaimana beberapa orang di luar sana kesulitan untuk makan dan minum. Satu bulan penuh dilatih untuk menghormati orang lain dan tidak berbuat buruk kepada mereka. Tapi rasanya semua hilang hanya dalam satu malam. Besok pagi, semua orang harus menjadi ‘pantas’ di kacamata orang lain.
Jujur, semua terasa hambar untukku. Perayaan tahun ini
terlalu berat di kepala. Jauh berbeda dibandingkan dengan perayaan-perayaan
sebelumnya, sebelum usiaku 20 tahun. Ketika kepalaku tidak terlalu liar
berpikiran yang aneh-aneh. Ketika aku (yang dulu) merasa pintar dan tidak
menanyakan banyak hal. Berbeda dengan sekarang. Sekarang saja aku
bertanya-tanya.,
Ketika aku tidak merasa tidak begitu senang dengan
perayaan ini, apakah aku lantas dikategorikan sebagai orang yang tidak
bersyukur?
Entah.
*
Hari berganti. Warna-warni kulihat orang berjalan menyusuri
gang yang biasanya sepi. Tentu itu hal baik. Bertamu dan mengunjungi saudara
(read: tetangga) satu komplek tentu hal yang baik. Sayangnya hanya sekali
setahun. Hanya beberapa menit, lalu pamit. Dan 365 hari ke depan, gang akan sepi
lagi. Ingin heran, tapi itu manusia. Sama sepertiku, manusia.
Mari kita lihat hal ini sebagaimana adanya. Bukan ironi. Menganggap perayaan ini sebagai momentum untuk kembali menjadi manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial. Yang akan berinteraksi atau tidak berinteraksi.
Aku lihat beberapa orang menggunakan baju yang sama. Seragam. Batik warna ungu atau baju polos warna abu-abu. Terlihat kompak di tengah ramainya orang yang mengenakan baju dengan warna dan motif yang berbeda-beda. Tidak seragam. Sayangnya aku tidak bisa melihat isi hati dan kepala mereka. Dan jikalaupun ada hati yang merasa iri di sana, aku harap dadanya bisa lapang menerima semua perbedaan yang ia rasakan.
*
Kemudian tiba waktunya untuk saling minta maaf.
Lagi-lagi hal yang sejak dulu kuanggap biasa, kini
menjadi hal yang begitu aneh dan abstrak. Aku terus berpikir tentang bagaimana
mungkin, kesalahan yang terkumpul selama 365 hari (atau bahkan lebih lama dari itu) bisa hilang hanya dalam satu
kalimat maaf?
Mengapa sekarang maaf jadi terdengar sangat biasa?
Mengapa
permintaan maaf saat ini terdengar seperti tidak didasari atas rasa salah
ataupun keinginan untuk memperbaiki kesalahan di hari berikutnya?
Apakah mereka, benar-benar tahu perbuatan apa yang salah dari mereka? Apakah benar, mereka merasa salah karenanya? Dan kemudian, aku dipaksa untuk memafkan, padahal memaafkan adalah sebuah proses panjang dari penerimaan yang didasari oleh pemahaman.
Untuk hal ini aku tidak bisa menanggapinya sendiri. Bagaimana jika aku adalah kalian?
Benarkah setelah hari ini, kalian tidak akan lagi mengingat kesalahan yang pernah diperbuat kepada kalian?
Benarkan setelah hari ini, tidak ada lagi marah yang
bersemayam di hati kalian?
Benarkah setelah hari ini, rasa sakit dan terkhianati yang
kalian alami tidak akan terasa lagi?
Benarkah setelah hari ini, hubungan kalian dengan orang
yang kalian benci akan membaik?
Jangan bohong.