Bagi saya yang masih duduk di bangku SD dulu, pertanyaan ini sangatlah klise dan mudah dijawab. Chef tentu saja. Dari kecil saya ingin menjadi chef. Tapi beda cerita setelah saya lulus SD. Beranjak remaja, cita-cita saya berubah. Di SMP saya ingin menjadi dosen. Tapi tidak berlangsung lama. Menjadi dosen harus melalui proses pendidikan yang panjang. Bisa tua di sekolah saya nanti. Di awal SMA, orientasi saya tentang cita-cita mulai berubah. Saya mulai mencari pekerjaan yang akan menghasilkan banyak uang dengan waktu yang relative cepat. Saya ingin menjadi pegawai di pertamina, atau holcim saja. Setahun kemudian, cita-cita saya berubah lagi. Menjadi pegawai memiliki banyak celah. Saya bisa di PHK, habis kontrak, dan lain-lain. Cita-cita saya berubah dari waktu ke waktu tapi tidak ada satupun yang terwujud.
Hidup itu dinamis. Manusia itu dinamis. Semesta selalu bergeser dan mau tidak mau kita akan mengikuti pergeseran itu. “Kita bisa melawan arus!” Tentu bisa tapi pada akhirnya bukankah semesta akan menggeser posisimu juga?
Cita-cita saya kemudian berubah lagi. Saya ingin menjadi PNS. Cara tercepatnya adalah masuk sekolah ikatan dinas. Sekretaris daerah adalah hal yang menarik bagi saya waktu itu. IPDN menjadi tujuan utama saya saat kelas 11. Tapi kan saya sudah bilang, semesta selalu bergeser. Dan ya, cita-cita itu harus kandas lagi. Semesta menggeser saya dengan cara lain. Mama tidak setuju. Kemudian saya mengganti cita-cita saya lagi. PKN STAN adalah pilihan terakhir. Boleh ataupun tidak boleh, saya tetap ingin mewujudkan cita-cita terakhir saya. Sudah kelas 12, tidak ada waktu lagi.
Saya belajar dengan tekun. Mulai dari buku, internet, instagram, grup whatsapp, telegram, google classrom, bahkan platform-platform try out online. Saya belajar dengan keras. Bisa dibilang dari pagi hingga pagi. Hingga waktu ujian tiba, semesta lagi-lagi menggeser saya. Saya tidak lulus.
Saya gagal. Saya manusia gagal!
Saya memusuhi semesta. Memusuhi siapa saja termasuk diri saya sendiri. Saya tidak mau makan, tidak mau bangun dari tempat tidur. Saya tidak bicara, tidak melakukan apa-apa. Saya benci semesta!
Sehari setelah saya ujian dan tidak lulus, semesta menggeser saya lagi. Pengumuman SBMPTN mengatakan bahwa saya diterima di satu universitas ternama dengan jurusan keperawatan. Apakah saya bahagia? Tidak sama sekali! Saya semakin membenci semesta.
Mengapa cita-cita yang saya perjuangkan tidak berhasil, sedangkan hal yang tidak pernah saya perhatikan membawa kabar baik?! Kenapa bukan USM saya yang lulus, melainkan UTBK yang bahkan saya tidak belajar untuk mengikutinya?
Semakin bergeser, semakin banyak yang semesta ajarkan pada saya—semoga pada kalian juga. Lambat laun, pemikiran saya terhadap perawat bergeser. Tidak lagi tentang jurusan yang tidak saya inginkan, bukan lagi tentang pekerjaan yang ‘tidak berharga’, bukan lagi tentang seorang ‘pembantu’ dokter—yang mana kata ‘pembantu’ adalah rendahan. Tapi tentang begitu banyak peluang di depan saya. Saya masih bisa melanjutkan cita-cita saya yang dulu: PNS. Pun bisa melanjutkan cita-cita saya yang lain:
Chef? Tidak harus menjadi chef, saya bisa membuka usaha bagi chef-chef di luar sana. Meskipun saya adalah seorang perawat, tidak ada larangan bagi seorang perawat untuk membuka usaha bukan? Dosen? Hanya masalah waktu, saya bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi dan menjadi dosen.
Meskipun tidak semua, tapi andai saja kita bisa merubah sedikit, menggeser pemikiran kita tentang cita-cita, tidak akan ada lagi rasa kecewa dan gagal. Kita tidak akan terus-terusan membenci semesta yang berulang kali menggagalkan usaha kita. Dan pada akhirnya, cita-cita bagi saya bukanlah hal yang harus sama dari waktu ke waktu. Bukan lagi hal yang jadi satu-satunya pemberhentian di kehidupan. Bukankah hidup dan manusia itu dinamis? Jadi bagi saya,
Cita-cita adalah apa yang mampu membuat kita bergerak. Dibantu semesta dan semua pergeserannya, saya yakin kita akan sampai pada suatu cita-cita yang tepat. Tidak mudah, tapi tidak juga menjadi alasan bagi kita untuk menyerah.