• Home
  • About
  • Contact
    • Email
    • Instagram
  • Category
    • Timelapse
    • Thoughts
    • Renjana
  • Kebijakan Privasi
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

LUMINOUS

when it's all dark, the only thing we need is a light



Kita duduk pada satu sudut ruangan cafe yang lumayan sepi. Kepalaku masih mengingat dengan sangat jelas garis-garis membentuk kepiting yang terpajang di banyak sudut cafe ini. Cafe yang tidak asing bagiku tapi menjadi kali pertama bagimu. Sorot lampu yang redup di atas kepala kita seolah berusaha menyembunyikan wajahmu dari pandanganku. Tapi sayangnya, pesonamu jauh lebih cerah daripada sorot lampu itu.

Di tempat ini, kita sudah cukup lama duduk berhadap-hadapan, saling memandang, dan saling memalingkan mata. Dan tanpa kita sadari, ada perasaan tak asing yang mengudara dan membentuk atmosfer hangat untuk kita. Padahal di luar gerimis dan ada dua AC yang menyala, tapi..., hatiku terasa hangat.

Waktu terasa begitu lambat karena kita menikmati setiap detiknya. Kita tidak sibuk dengan ponsel masing-masing ataupun tacos dan cheese paradise yang kita pesan. Kita justru sibuk membangun perbincangan yang bermakna tentang kerentanan, kekhawatiran, dan perasaan. Semakin dalam perbincangan kita, semakin kita menyadari bahwa kamu dan aku telah terlalu sibuk berpetualang memandang belahan dunia masing-masing.

Mata kita basah. Kepala kita berpacu pada kalimat-kalimat yang rumit. Namun sayangnya, bibir kita kelu, tenggorokan kita tercekat. Tak ada banyak hal yang bisa kita katakan, tapi ada beberapa hal yang kita pahami bersama-sama.

Bahwa keputusan yang lalu adalah salah. Aku tak seharusnya berhenti berjuang dan kau tak seharusnya berhenti mempertahankan. Bahwa perasaan kita tak pernah berubah. Kamu merindukanku, aku merindukanmu. Kita selalu merasa terikat. Seolah-olah selama petualangan kita memandang belahan bumi yang lain, kita membawa kompas yang rusak. Yang meski seberapapun jauh kita memutari bumi, kompas itu selalu menuntun kita pada satu titik temu yang sama.

Tak ada hal yang bisa kujanjikan padamu selain mengusahakan semampuku agar aku bisa (kembali) bersamamu. Bukan untuk sementara. Melainkan untuk waktu yang jauh lebih lama daripada selamanya. Aku tak ingin menggantungkan kejelasan hubungan kita dan membebanimu dengan banyak pikiran. Tapi, “Apakah ini semua akan berhasil?”

Aku pun tidak tahu. Kamu juga ragu. Tapi kita adalah benar. Dan (hanya) kita yang sama-sama memahami bahwa dalam keadaan yang salah, hal yang benar sekalipun bisa terasa sangat meragukan.

Meski kau dan aku saling mau. Meski telah kita temukan satu titik temu. Belum tentu semesta mau memberi restu. Untuk itu, mari lakukan semampu kita. Berusaha dengan sungguh-sungguh. Dan sisanya, biarkan semesta yang bekerja. Ya?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Satu malam penuh, aku ditemani oleh suara-suara nyaring yang bersahut-sahutan di luar sana. Orang berganti-gantian melantunkan takbir yang katanya, menyiratkan kebahagiaan menyambut datangnya perayaan fitri. Tapi jika direnungkan lagi, benar memang beberapa orang merasa senang. Tapi tidak semua. Beberapa lainnya merasa sedih. Lalu aku hanyut dalam pikiran-pikiran itu. Benarkah kita harus mengglorifikasi perayaan ini sementara ada sebagian orang lain yang sedang menangis?

Entah.

Menangis karena tidak bisa pulang, tidak bisa bertemu dengan saudaranya yang berbeda kota atau pulau. Atau menangis karena takut, tidak bisa menjamu orang-orang yang datang besok pagi. Atau menangis karena hal-hal yang mereka pendam sendiri, di bawah ramainya orang yang bergembira.

Sedih, di bawah kesenangan orang lain.

Apakah benar, mengganggu jam tidur orang dengan suara-suara yang asing bagi mereka, adalah hal yang dianjurkan?

Satu bulan penuh, aku ditempa untuk rendah hati dan menghargai orang lain. Menahan lapar dan haus, untuk merasakan bagaimana beberapa orang di luar sana kesulitan untuk makan dan minum. Satu bulan penuh dilatih untuk menghormati orang lain dan tidak berbuat buruk kepada mereka. Tapi rasanya semua hilang hanya dalam satu malam. Besok pagi, semua orang harus menjadi ‘pantas’ di kacamata orang lain.

Jujur, semua terasa hambar untukku. Perayaan tahun ini terlalu berat di kepala. Jauh berbeda dibandingkan dengan perayaan-perayaan sebelumnya, sebelum usiaku 20 tahun. Ketika kepalaku tidak terlalu liar berpikiran yang aneh-aneh. Ketika aku (yang dulu) merasa pintar dan tidak menanyakan banyak hal. Berbeda dengan sekarang. Sekarang saja aku bertanya-tanya.,

Ketika aku tidak merasa tidak begitu senang dengan perayaan ini, apakah aku lantas dikategorikan sebagai orang yang tidak bersyukur?

Entah.

*

Hari berganti. Warna-warni kulihat orang berjalan menyusuri gang yang biasanya sepi. Tentu itu hal baik. Bertamu dan mengunjungi saudara (read: tetangga) satu komplek tentu hal yang baik. Sayangnya hanya sekali setahun. Hanya beberapa menit, lalu pamit. Dan 365 hari ke depan, gang akan sepi lagi. Ingin heran, tapi itu manusia. Sama sepertiku, manusia.

Mari kita lihat hal ini sebagaimana adanya. Bukan ironi. Menganggap perayaan ini sebagai momentum untuk kembali menjadi manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial. Yang akan berinteraksi atau tidak berinteraksi.

Aku lihat beberapa orang menggunakan baju yang sama. Seragam. Batik warna ungu atau baju polos warna abu-abu. Terlihat kompak di tengah ramainya orang yang mengenakan baju dengan warna dan motif yang berbeda-beda. Tidak seragam. Sayangnya aku tidak bisa melihat isi hati dan kepala mereka. Dan jikalaupun ada hati yang merasa iri di sana, aku harap dadanya bisa lapang menerima semua perbedaan yang ia rasakan.

*

Kemudian tiba waktunya untuk saling minta maaf.

Lagi-lagi hal yang sejak dulu kuanggap biasa, kini menjadi hal yang begitu aneh dan abstrak. Aku terus berpikir tentang bagaimana mungkin, kesalahan yang terkumpul selama 365 hari (atau bahkan lebih lama dari itu) bisa hilang hanya dalam satu kalimat maaf?

Mengapa sekarang maaf jadi terdengar sangat biasa?

Mengapa permintaan maaf saat ini terdengar seperti tidak didasari atas rasa salah ataupun keinginan untuk memperbaiki kesalahan di hari berikutnya?

Apakah mereka, benar-benar tahu perbuatan apa yang salah dari mereka? Apakah benar, mereka merasa salah karenanya? Dan kemudian, aku dipaksa untuk memafkan, padahal memaafkan adalah sebuah proses panjang dari penerimaan yang didasari oleh pemahaman.

Untuk hal ini aku tidak bisa menanggapinya sendiri. Bagaimana jika aku adalah kalian?

Benarkah setelah hari ini, kalian tidak akan lagi mengingat kesalahan yang pernah diperbuat kepada kalian?

Benarkan setelah hari ini, tidak ada lagi marah yang bersemayam di hati kalian?

Benarkah setelah hari ini, rasa sakit dan terkhianati yang kalian alami tidak akan terasa lagi?

Benarkah setelah hari ini, hubungan kalian dengan orang yang kalian benci akan membaik?

Jangan bohong.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

Renjana (13) Timelapse (5) Thoughts (3)

Kamu Pembaca yang Ke-

Followers

Popular Posts

  • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
      Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu meras...
  • Satu-satunya, Segalanya
    Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah har...
  • HALU: SUATU HARI NANTI
      Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan leng...

Blog Archive

  • ▼  2022 (6)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ▼  May 2022 (2)
      • Titik Temu
      • Perayaan, Maaf, dan Hal-hal Abstrak Lainnya
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  September 2021 (2)
    • ►  January 2021 (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  June 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  February 2020 (2)
    • ►  January 2020 (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
Powered by Blogger.

Created with by ThemeXpose | Delivered by Nur Hidayat