• Home
  • About
  • Contact
    • Email
    • Instagram
  • Category
    • Timelapse
    • Thoughts
    • Renjana
  • Kebijakan Privasi
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

LUMINOUS

when it's all dark, the only thing we need is a light



Satu malam penuh, aku ditemani oleh suara-suara nyaring yang bersahut-sahutan di luar sana. Orang berganti-gantian melantunkan takbir yang katanya, menyiratkan kebahagiaan menyambut datangnya perayaan fitri. Tapi jika direnungkan lagi, benar memang beberapa orang merasa senang. Tapi tidak semua. Beberapa lainnya merasa sedih. Lalu aku hanyut dalam pikiran-pikiran itu. Benarkah kita harus mengglorifikasi perayaan ini sementara ada sebagian orang lain yang sedang menangis?

Entah.

Menangis karena tidak bisa pulang, tidak bisa bertemu dengan saudaranya yang berbeda kota atau pulau. Atau menangis karena takut, tidak bisa menjamu orang-orang yang datang besok pagi. Atau menangis karena hal-hal yang mereka pendam sendiri, di bawah ramainya orang yang bergembira.

Sedih, di bawah kesenangan orang lain.

Apakah benar, mengganggu jam tidur orang dengan suara-suara yang asing bagi mereka, adalah hal yang dianjurkan?

Satu bulan penuh, aku ditempa untuk rendah hati dan menghargai orang lain. Menahan lapar dan haus, untuk merasakan bagaimana beberapa orang di luar sana kesulitan untuk makan dan minum. Satu bulan penuh dilatih untuk menghormati orang lain dan tidak berbuat buruk kepada mereka. Tapi rasanya semua hilang hanya dalam satu malam. Besok pagi, semua orang harus menjadi ‘pantas’ di kacamata orang lain.

Jujur, semua terasa hambar untukku. Perayaan tahun ini terlalu berat di kepala. Jauh berbeda dibandingkan dengan perayaan-perayaan sebelumnya, sebelum usiaku 20 tahun. Ketika kepalaku tidak terlalu liar berpikiran yang aneh-aneh. Ketika aku (yang dulu) merasa pintar dan tidak menanyakan banyak hal. Berbeda dengan sekarang. Sekarang saja aku bertanya-tanya.,

Ketika aku tidak merasa tidak begitu senang dengan perayaan ini, apakah aku lantas dikategorikan sebagai orang yang tidak bersyukur?

Entah.

*

Hari berganti. Warna-warni kulihat orang berjalan menyusuri gang yang biasanya sepi. Tentu itu hal baik. Bertamu dan mengunjungi saudara (read: tetangga) satu komplek tentu hal yang baik. Sayangnya hanya sekali setahun. Hanya beberapa menit, lalu pamit. Dan 365 hari ke depan, gang akan sepi lagi. Ingin heran, tapi itu manusia. Sama sepertiku, manusia.

Mari kita lihat hal ini sebagaimana adanya. Bukan ironi. Menganggap perayaan ini sebagai momentum untuk kembali menjadi manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial. Yang akan berinteraksi atau tidak berinteraksi.

Aku lihat beberapa orang menggunakan baju yang sama. Seragam. Batik warna ungu atau baju polos warna abu-abu. Terlihat kompak di tengah ramainya orang yang mengenakan baju dengan warna dan motif yang berbeda-beda. Tidak seragam. Sayangnya aku tidak bisa melihat isi hati dan kepala mereka. Dan jikalaupun ada hati yang merasa iri di sana, aku harap dadanya bisa lapang menerima semua perbedaan yang ia rasakan.

*

Kemudian tiba waktunya untuk saling minta maaf.

Lagi-lagi hal yang sejak dulu kuanggap biasa, kini menjadi hal yang begitu aneh dan abstrak. Aku terus berpikir tentang bagaimana mungkin, kesalahan yang terkumpul selama 365 hari (atau bahkan lebih lama dari itu) bisa hilang hanya dalam satu kalimat maaf?

Mengapa sekarang maaf jadi terdengar sangat biasa?

Mengapa permintaan maaf saat ini terdengar seperti tidak didasari atas rasa salah ataupun keinginan untuk memperbaiki kesalahan di hari berikutnya?

Apakah mereka, benar-benar tahu perbuatan apa yang salah dari mereka? Apakah benar, mereka merasa salah karenanya? Dan kemudian, aku dipaksa untuk memafkan, padahal memaafkan adalah sebuah proses panjang dari penerimaan yang didasari oleh pemahaman.

Untuk hal ini aku tidak bisa menanggapinya sendiri. Bagaimana jika aku adalah kalian?

Benarkah setelah hari ini, kalian tidak akan lagi mengingat kesalahan yang pernah diperbuat kepada kalian?

Benarkan setelah hari ini, tidak ada lagi marah yang bersemayam di hati kalian?

Benarkah setelah hari ini, rasa sakit dan terkhianati yang kalian alami tidak akan terasa lagi?

Benarkah setelah hari ini, hubungan kalian dengan orang yang kalian benci akan membaik?

Jangan bohong.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Pukul lima sore, aku duduk termenung menjadi saksi langit yang kian menjingga. Anak-anak kecil terlihat berlarian pergi ke mushola, mau mahgrib. Mungkin tak hanya aku, yang merasa bahwa disaat-saat demikian, suasana menjadi berubah. Tidak seperti jam-jam lainnya yang ‘biasa saja’. Suasana di sini berubah menjadi magis. Dan tiba-tiba aku terpikirkan tentang alasan-alasan yang.., mungkin, bisa membuatku tak bisa kembali denganmu.

Kenangan demi kenangan mencuat, mengembalikan ingatan tentang betapa bahagianya kita,  dulu. Lagi-lagi aku merindukanmu. Beruntung kita sempat bertemu beberapa waktu yang lalu. Bertukar sapa, bertukar cerita, dan banyak hal. Tak ada kesan yang lebih baik dibandingkan hadirmu. Sebab tak peduli seberapa banyak wajah yang kutemui, akan tetap terkalahkan oleh wajah yang selama ini kutunggu: wajahmu.

Namun, seberapapun banyaknya rindu yang aku punya, tak akan ada nilainya jika dihadapkan dengan kebodohan. Aku telah bodoh karena membuatmu patah dan berantakan. Tapi kebodohanku akan menjadi alasan kuat yang kedua.

Sekotak maaf masih kusimpan dengan baik. Ingin kuberikan sebenarnya,  jika suatu saat nanti ada kesempatan. Tapi beberapa hal menahanku untuk memberikannya kepadamu. Hal-hal yang ada di kepala, tentu saja. Kerap kali kupikir, maaf tidak berguna untuk kesalahan yang tidak biasa. Sedangkan aku sudah salah karena tidak mempertahankanmu. Aku salah karena menyerah. Aku salah, karena berhenti. Aku salah karena masih menahanmu dengan hal-hal yang tak kasat mata. Kesalahan-kesalahan yang tidak biasa.

Seberapa banyak pun kata maaf, tak akan ada nilainya jika dihadapkan dengan kekecewaan yang teramat sangat, kan? Dan kekecewaanmu, akan menjadi alasan yang paling kuat, yang mungkin membuatku tak bisa kembali.

Dan sekarang tanganku tak lagi bisa menggenggam tanganmu. Mataku tak lagi bisa menatap matamu tanpa membuat suasana menjadi canggung. Barangkali aku sudah hilang. Sudah tidak diinginkan. Dan itu menjadi alasan-alasan yang selanjutnya.

Terakhir, aku tak bisa lagi menetap di rumahku yang lama: hatimu, dengan alasan-alasan yang bisa jadi, hanya kamu yang tahu.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Kita selesaikan saja, ya?

Aku sendiri, kamu sendiri, tidak ada lagi kita. Bisakah?

Mari kita tamatkan apa yang sejujurnya hampir kita mulai. Mari kita letakkan pertanyaan-pertanyaan tanpa menduga-duga apa jawabannya. Mari kita tinggalkan semua yang ada pada kepala dan dada kita, tanpa perayaan, tanpa pertemuan, tanpa air mata yang mengalir dengan tidak sopan. Kita mulai cerita yang baru.

Bisakah?

Meninggalkan cerita lama di awal pertemuan kita. Cerita saat mata kita bertemu pada satu titik yang sama. Cerita saat kita masih mengenakan pakaian yang sama, hitam, putih. Cerita tentang onion ring dan nasi goreng seafood di bahu jalan. Hanya menatap ke depan. Tidak menoleh. Tidak mengingat-ingat. Tidak menangis karena rindu.

Bisakah?

Kita tidak saling membenci, bukan? Tidak akan ada yang merasa tertahan ataupun menahan. Tidak ada yang menunggu. Tidak ada yang terburu-buru.

Kita sudah terbiasa, kan? Tidak marah. Tidak mencari di mana atau siapa yang salah. Tidak berselisih.

Kita selesaikan saja, ya. Tidak perlu kembali jika hanya untuk mengucap sampai jumpa atau kalimat “aku pergi ya” untuk kedua kalinya.


Kita selesaikan saja. Ya?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

Renjana (13) Timelapse (5) Thoughts (3)

Kamu Pembaca yang Ke-

Followers

Popular Posts

  • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
      Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu meras...
  • Satu-satunya, Segalanya
    Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah har...
  • HALU: SUATU HARI NANTI
      Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan leng...

Blog Archive

  • ▼  2022 (6)
    • ▼  November 2022 (1)
      • HALU: SUATU HARI NANTI
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  May 2022 (2)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  September 2021 (2)
    • ►  January 2021 (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  June 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  February 2020 (2)
    • ►  January 2020 (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
Powered by Blogger.

Created with by ThemeXpose | Delivered by Nur Hidayat