
Kita duduk pada satu sudut ruangan cafe yang lumayan sepi. Kepalaku masih mengingat dengan sangat jelas garis-garis membentuk kepiting yang terpajang di banyak sudut cafe ini. Cafe yang tidak asing bagiku tapi menjadi kali pertama bagimu. Sorot lampu yang redup di atas kepala kita seolah berusaha menyembunyikan wajahmu dari pandanganku. Tapi sayangnya, pesonamu jauh lebih cerah daripada sorot lampu itu.
Di tempat ini, kita sudah cukup lama duduk berhadap-hadapan,
saling memandang, dan saling memalingkan mata. Dan tanpa kita sadari, ada
perasaan tak asing yang mengudara dan membentuk atmosfer hangat untuk kita. Padahal
di luar gerimis dan ada dua AC yang menyala, tapi..., hatiku terasa hangat.
Waktu terasa begitu lambat karena kita menikmati setiap
detiknya. Kita tidak sibuk dengan ponsel masing-masing ataupun tacos dan cheese
paradise yang kita pesan. Kita justru sibuk membangun perbincangan yang
bermakna tentang kerentanan, kekhawatiran, dan perasaan. Semakin dalam
perbincangan kita, semakin kita menyadari bahwa kamu dan aku telah terlalu
sibuk berpetualang memandang belahan dunia masing-masing.
Mata kita basah. Kepala kita berpacu pada kalimat-kalimat
yang rumit. Namun sayangnya, bibir kita kelu, tenggorokan kita tercekat. Tak ada banyak hal yang bisa kita katakan, tapi ada beberapa hal yang kita pahami
bersama-sama.
Bahwa keputusan yang lalu adalah salah. Aku tak
seharusnya berhenti berjuang dan kau tak seharusnya berhenti mempertahankan.
Bahwa perasaan kita tak pernah berubah. Kamu merindukanku, aku merindukanmu.
Kita selalu merasa terikat. Seolah-olah selama petualangan kita memandang
belahan bumi yang lain, kita membawa kompas yang rusak. Yang meski seberapapun
jauh kita memutari bumi, kompas itu selalu menuntun kita pada satu titik temu
yang sama.
Tak ada hal yang bisa kujanjikan padamu selain
mengusahakan semampuku agar aku bisa (kembali) bersamamu. Bukan untuk
sementara. Melainkan untuk waktu yang jauh lebih lama daripada selamanya. Aku
tak ingin menggantungkan kejelasan hubungan kita dan membebanimu dengan banyak
pikiran. Tapi, “Apakah ini semua akan berhasil?”
Aku pun tidak tahu. Kamu juga ragu. Tapi kita adalah benar.
Dan (hanya) kita yang sama-sama memahami bahwa dalam keadaan yang salah, hal
yang benar sekalipun bisa terasa sangat meragukan.
Meski kau dan aku saling mau. Meski telah kita temukan
satu titik temu. Belum tentu semesta mau memberi restu. Untuk itu, mari lakukan
semampu kita. Berusaha dengan sungguh-sungguh. Dan sisanya, biarkan semesta
yang bekerja. Ya?