• Home
  • About
  • Contact
    • Email
    • Instagram
  • Category
    • Timelapse
    • Thoughts
    • Renjana
  • Kebijakan Privasi
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

LUMINOUS

when it's all dark, the only thing we need is a light

 


Pukul tiga dini hari, aku terbaring menghadap langit-langit kamar dengan tatapan yang kosong. Lelah. Khawatir. Takut. Bahuku terasa pegal dan berat saat kepalaku memikirkan beban-beban hidup--ah bukan--beban pikiran saja sepertinya. Tapi ternyata, sulit yah, menjadi dewasa. Kemudian aku menarik napas panjang berusaha melonggarkan dada yang semakin sesak dengan rasa ketidakberdayaan.

Lambat laun muncul pertanyaan-pertanyaan yang diawali dengan "bagaimana jika nanti..." silih berganti di lorong-lorong kepala yang tak lagi kosong. Mereka mengacaukanku yang tengah berusaha memejamkan mata menjemput mimpi di alam sana. Dan aku menjadi benar-benar takut--dan payah.

Gemericik hujan di luar seperti menderamatisir suasana. Memperjelas kekhawatiran anak manusia yang masih tidak tahu apa-apa diusianya yang hampir kepala dua. Aku takut dengan hidup, takut dengan keputusan-keputusan besar yang akan kuambil di depan, takut dengan tanggungjawab yang pasti akan kuemban. Aku yang rapuh ini, apakah bisa? Lagi-lagi kepalaku memunculkan pertanyaan dengan awalan "Bagaimana jika nanti...". Sungguh ini adalah beban.

Aku belum tahu jawabannya sekarang. Kepalaku masih riuh dan kacau. Ingin rasanya aku cepat-cepat menyudahi semua ini tapi semesta selalu saja begitu. Saat kuingin berjalan cepat, semesta memintaku berjalan perlahan, merasakan semua perih, luka, dan sakit yang--katanya--akan mendewasakan.

Tapi bisa apa aku dalam semalam?

Ingin rasanya aku membersamai hujan di luar sana. Jatuh dari langit lalu menguap esok harinya tanpa peduli apakah aku akan kembali menjadi awan atau justru diterbangkan angin sampai menghilang. Tapi benarkah itu yang aku mau?

Pagi nanti masih ada mama yang akan tersenyum pada anaknya ini, yang belum bisa mandiri. Siang nanti ada ayah yang minum kopi sambil bercerita tentang harapannya yang belum terpenuhi. Lalu apa yang akan aku tunjukan pada rumput-rumput liar di balik pagar rumah itu jika aku menyerah secepat ini. "Bagaimana jika nanti..." AH!

Kapan ini semua akan selesai?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Bolehkah jika pada setiap sesi lari pagimu aku datang dan menyapa,
menemanimu duduk sambil beristirahat hingga akhirnya kita melangkahkan kaki 
bersama-sama?

Bolehkah aku menghiburmu kala kamu sedih? Mengubah air matamu menjadi tawa
kemudian dari tawa menjadi cinta?

Bolehkah aku bertanggung jawab atas kebahagiaanmu,
menjadi alasan senyum dan tawamu?

Ketika datang badai di kepalamu,
bolehkah tanganku menjadi satu-satunya hal yang ingin kau genggam,
bolehkah aku menjadi satu-satunya orang yang kau percaya untuk melalui badai bersama-sama?

Seandainya nanti masalah datang menghampiri, 
bolehkah pundakku menanggung semua bebanmu,
menjadi muara dari setiap air mata dan keluh kesahmu?

Jika boleh,
akan kulakukan semua untukmu.
Tak apa menyakitkan. Tak apa melelahkan,
untukmu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Belasan tahun sudah habis dengan sendirinya. Habis untuk berlari, tertawa, mengkhayal, menjauh, menghindar, mengejar, menangis, jatuh, berkeluh-kesah, hingga hampir menyerah. Ingin rasanya menegasi diri sendiri: bahwa semesta tidak selalu ramah. Bahwa ada banyak hal yang sudah cukup dibiarkan saja. Tidak usah menyalahkan diri sendiri terus. Tidak perlu membebani diri atas semua yang terjadi di luar kendali.

Satu hari, satu tahun sekali, dan sudah terulang sembilan belas kali. Tapi apa yang berbeda? Aku masihlah manusia dengan topeng berbagai macam rupa. Masih tinggal di dunia dengan khalayak yang berkemampuan pura-pura yang sama. Tidak banyak berubah. Hanya kumis dan jenggot yang mulai menebal mengganggu pemandangan. Juga ada bekas jerawat yang tidak mau hilang meski sudah skincare-an. Sisanya tetap sama. Entah waktu yang berjalan begitu cepat atau aku yang bertumbuh terlalu lambat.

Momen sekali setahun ini pada akhirnya menyadarkan aku bahwa waktu tidak pernah memberikan apapun kecuali kesempatan dan masa lalu. Masa lalu memberi tahu bahwa bertumbuh menjadi dewasa bukan tentang seberapa besar angka yang tertulis di kolom umur lembar identitas. Tapi bertumbuh dewasa adalah tentang memantaskan diri disetiap kesempatan yang ada. Memantaskan diri untuk layak menjadi asli.

Kita sepakat bahwa dunia tidak selalu baik. 

Banyak sapa yang tak bernyawa. 

Ramai kepedulian yang hanya sekadarnya saja. 

Dan kurasa kita juga sepakat bahwa selama ini kita selalu ingin menjadi layak untuk sudut pandang orang lain. Layak di baris-baris cerita mulut orang lain. Kita sibuk membersamai orang lain sampai lupa bahwa jiwa yang sebenarnya juga perlu dibersamai diri sendiri. Kita takut ditinggalkan banyak orang padahal seburuk-buruknya kehilangan adalah kehilangan diri sendiri.

Bertumbuh tidaklah mudah, tapi tidak akan ada bahagia sebelum merasakan penderitaan, bukan? 
Seperti tanaman yang bertumbuh untuk berbunga, sepertu itulah kita yang bertumbuh menjadi dewasa: berusaha menumbuhkan daun, menyirami akar dengan syukur, berfotosintesis dengan doa, kemudian pada akhirnya, bunga akan bermekaran.

***

Kepada semuanya yang sekali lagi berkesempatan membuka lembaran baru, kita pernah sama-sama merisaukan masa depan. Pernah sama-sama menyesali masa lalu. Untuk saat ini, sudah bukan lagi tentang seberapa banyak tahun yang terhitung dalam hidup, melainkan seberapa 'hidup' kita dalam satu tahun yang kita punya.

Selamat ulang tahun, kita
Semoga dimudahkan proses bertumbuhnya, dikabulkan harapan dan impiannya.
aamiin

Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

"Apa kabar?"

Entah sudah berapa lama pesan ini tidak mendarat di roomchat whatsapp kita. Hari ini kamu mengirimnya. Tanda tanya yang mengakhiri pesanmu itu, ternyata sangat andal dalam mengacaukan segalanya. Merobohkan dinding yang telah kubangun dengan susah payah. Dinding yang akan kugunakan untuk melindungi hati berhibernasi. Memulai tidur panjangnya. Memulai (lagi) penantian yang melelahkan. Menunggu seseorang baru yang mungkin akan datang membawakan musim semi untukku.

"Bagaimana pacar barumu?"

Tanyamu yang seolah-olah mudah bagimu untuk menemukan seorang pengganti. Tapi tidak denganku. Bagaimana bisa kutemukan pengganti dengan cepat bila bagiku, menemukanmu adalah anugerah. Dijaga olehmu adalah hal yang sangat kusyukuri. Aku selalu berterimakasih karena Tuhan telah mengirimkanmu untuk-ku. Karena kamu memilihku. Membalas perasaanku dengan rasa cinta yang lebih besar daripada cinta yang aku punya.

Bahwa sungguh kamu adalah rumah paling rupawan. Tempat paling nyaman bagiku untuk tinggal.

Tapi sayang, kita adalah kita yang saat ini sudah di ujung kisah. Kamu adalah kamu yang sudah punya kehidupan baru. Dan aku adalah aku yang sedang berjuang agar terbiasa tanpamu.

"Andai kita bisa seperti dulu, ya."

Itu adalah pesan ultimatum yang sayangnya tidak berhasil aku tembakkan kepadamu. Kuruntuki diriku sendiri yang lagi-lagi membiarkan rindu mengalahkan logika. Berpikir jika kita masih bisa kembali menjadi 'kita'. Tentu aku tahu untuk saat ini hal itu mustahil, bukan?

Jika masih boleh kupanggil namamu dengan sebutan sayang, maka ini pesanku untukmu. Pesan yang akan kugunakan untuk menenangkan diri sendiri. Tidak ada maksud apa-apa selain berdamai denganmu dan rasa-rasa yang sampai saat ini masih ada--meski dengan tatanan yang tak lagi sama: berantakan.

"Sayang, biarlah kisah ini berakhir. Biarkan aku dan kamu terbang memandang belahan bumi yang lain. Karena hidupmu bukan hanya tentang aku. Pun begitu bagiku. Jika memang Tuhan menakdirkan kita menjadi sepasang, maka Ia akan diam-diam kembali menyatukan. Tinggal bagaimana kita berdoa kepada-Nya. Sebab meski doaku dan doamu berbeda, meski bukan lagi namaku yang kau sebut di dalamnya, tapi selama doa kita masih ditutup dengan amin yang sama, selama itu pula hatiku akan mengingatmu sebagai sosok yang pernah begitu istimewa."

Kuucapkan terimakasih atas semuanya. Mari bersua pada kisah yang berbeda. Entah sebagai dua manusia yang kembali jatuh cinta, atau dua manusia yang sudah berhasil menemukan cinta lainnya.

Mari bersua, lalu menertawakan kisah lama kita.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Kepada kamu dengan penuh ragu, aku ingin mengatakan sesuatu. Ada perasaan asing yang kini menyerangku. Aku tidak bisa mendefinisikannya. Aku tidak tahu apakah ini perasaan rindu atau hanya perasaan kosong karena belum terbiasa tanpa kamu. Apakah aku merasa kehilangan atau hanya hampa karena sekarang kita sudah berbeda. Dulu aku pikir semua akan melegakkan saat mengetahui kamu bisa kembali menemukan tawamu. Aku pikir aku akan bahagia juga saat melihatmu tertawa bersama teman-temanmu. Aku pikir keputusanku untuk memilih kalah adalah keputusan yang paling tepat.

Tapi ternyata tidak.

Kepada kamu dengan penuh ragu, aku ingin mengatakan sesuatu. Aku lupa bagaimana caranya melupakan seseorang setelah bertemu denganmu. Aku pikir semua akan terasa mudah saat kita sudah punya kehidupan yang baru. Aku pikir perasaan itu akan pudar seiring dengan berjalannya waktu. Aku pikir orang-orang disekitarku akan mampu membuat bayanganmu hilang.

Tapi nyatanya tidak.

Nyatanya kamu masih selalu ada di sana. Duduk manis dan tersenyum di lorong kepala saat pada tengah malam kucoba pejamkan mata. Nyatanya kamu masih ada di dalam tulisanku. Nyatanya, setiap lirik lagu yang kudengar selalu memutar memori manis tentang kita dulu.

Tapi tetap kita sudah bukan lagi apa-apa, bukan? Sekarang aku harus bisa memandangmu dengan cara yang baru. Melihat bagaimana kamu berusaha lupa, membuat aku tersiksa.

Seandainya aku masih bisa menjagamu dan mempertahankan ‘kita’, seandainya aku masih bisa disampingmu dan membuatmu tertawa, seandainya kamu masih bisa kuperjuangkan, seandainya aku tahu seberapa banyak sakit yang akan kuterima saat merelakan perpisahan, seandainya kutahu seberapa pahitnya menyudahi apa yang belum selesai.

Seandainya, pasti bertahan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ternyata membiarkanmu menemukan tawa yang tanpa aku di dalamnya bukanlah apa yang aku inginkan. Ternyata terbang bebas menjauhimu tak mampu kulakukan.

Tapi tetap kita sudah bukan apa-apa bukan? 

Jadi biarlah jika tidak ada kesempatan yang lainnya. Biar menjadi kenangan. Biar aku saja yang kau lupakan. Dan kamu di sini tidak akan hilang. Meski pada akhirnya seseorang yang baru akan datang menggantikan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

“Apa cita-cita kamu?”

Bagi saya yang masih duduk di bangku SD dulu, pertanyaan ini sangatlah klise dan mudah dijawab. Chef tentu saja. Dari kecil saya ingin menjadi chef. Tapi beda cerita setelah saya lulus SD. Beranjak remaja, cita-cita saya berubah. Di SMP saya ingin menjadi dosen. Tapi tidak berlangsung lama. Menjadi dosen harus melalui proses pendidikan yang panjang. Bisa tua di sekolah saya nanti. Di awal SMA, orientasi saya tentang cita-cita mulai berubah. Saya mulai mencari pekerjaan yang akan menghasilkan banyak uang dengan waktu yang relative cepat. Saya ingin menjadi pegawai di pertamina, atau holcim saja. Setahun kemudian, cita-cita saya berubah lagi. Menjadi pegawai memiliki banyak celah. Saya bisa di PHK, habis kontrak, dan lain-lain. Cita-cita saya berubah dari waktu ke waktu tapi tidak ada satupun yang terwujud.

Hidup itu dinamis. Manusia itu dinamis. Semesta selalu bergeser dan mau tidak mau kita akan mengikuti pergeseran itu. “Kita bisa melawan arus!” Tentu bisa tapi pada akhirnya bukankah semesta akan menggeser posisimu juga?

Cita-cita saya kemudian berubah lagi. Saya ingin menjadi PNS. Cara tercepatnya adalah masuk sekolah ikatan dinas. Sekretaris daerah adalah hal yang menarik bagi saya waktu itu. IPDN menjadi tujuan utama saya saat kelas 11. Tapi kan saya sudah bilang, semesta selalu bergeser. Dan ya, cita-cita itu harus kandas lagi. Semesta menggeser saya dengan cara lain. Mama tidak setuju. Kemudian saya mengganti cita-cita saya lagi. PKN STAN adalah pilihan terakhir. Boleh ataupun tidak boleh, saya tetap ingin mewujudkan cita-cita terakhir saya. Sudah kelas 12, tidak ada waktu lagi.

Saya belajar dengan tekun. Mulai dari buku, internet, instagram, grup whatsapp, telegram, google classrom, bahkan platform-platform try out online. Saya belajar dengan keras. Bisa dibilang dari pagi hingga pagi. Hingga waktu ujian tiba, semesta lagi-lagi menggeser saya. Saya tidak lulus.

Saya gagal. Saya manusia gagal!

Saya memusuhi semesta. Memusuhi siapa saja termasuk diri saya sendiri. Saya tidak mau makan, tidak mau bangun dari tempat tidur. Saya tidak bicara, tidak melakukan apa-apa. Saya benci semesta!

Sehari setelah saya ujian dan tidak lulus, semesta menggeser saya lagi. Pengumuman SBMPTN mengatakan bahwa saya diterima di satu universitas ternama dengan jurusan keperawatan. Apakah saya bahagia? Tidak sama sekali! Saya semakin membenci semesta.

Mengapa cita-cita yang saya perjuangkan tidak berhasil, sedangkan hal yang tidak pernah saya perhatikan membawa kabar baik?! Kenapa bukan USM saya yang lulus, melainkan UTBK yang bahkan saya tidak belajar untuk mengikutinya?

Semakin bergeser, semakin banyak yang semesta ajarkan pada saya—semoga pada kalian juga. Lambat laun, pemikiran saya terhadap perawat bergeser. Tidak lagi tentang jurusan yang tidak saya inginkan, bukan lagi tentang pekerjaan yang ‘tidak berharga’, bukan lagi tentang seorang ‘pembantu’ dokter—yang mana kata ‘pembantu’ adalah rendahan. Tapi tentang begitu banyak peluang di depan saya. Saya masih bisa melanjutkan cita-cita saya yang dulu: PNS. Pun bisa melanjutkan cita-cita saya yang lain:

Chef? Tidak harus menjadi chef, saya bisa membuka usaha bagi chef-chef di luar sana. Meskipun saya adalah seorang perawat, tidak ada larangan bagi seorang perawat untuk membuka usaha bukan? Dosen? Hanya masalah waktu, saya bisa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi dan menjadi dosen.

Meskipun tidak semua, tapi andai saja kita bisa merubah sedikit, menggeser pemikiran kita tentang cita-cita, tidak akan ada lagi rasa kecewa dan gagal. Kita tidak akan terus-terusan membenci semesta yang berulang kali menggagalkan usaha kita. Dan pada akhirnya, cita-cita bagi saya bukanlah hal yang harus sama dari waktu ke waktu. Bukan lagi hal yang jadi satu-satunya pemberhentian di kehidupan. Bukankah hidup dan manusia itu dinamis? Jadi bagi saya,

Cita-cita adalah apa yang mampu membuat kita bergerak. Dibantu semesta dan semua pergeserannya, saya yakin kita akan sampai pada suatu cita-cita yang tepat. Tidak mudah, tapi tidak juga menjadi alasan bagi kita untuk menyerah.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

Categories

Renjana (13) Timelapse (5) Thoughts (3)

Kamu Pembaca yang Ke-

Followers

Popular Posts

  • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
      Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu meras...
  • Satu-satunya, Segalanya
    Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah har...
  • HALU: SUATU HARI NANTI
      Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan leng...

Blog Archive

  • ►  2022 (6)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  May 2022 (2)
    • ►  January 2022 (1)
  • ►  2021 (9)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  September 2021 (2)
    • ►  January 2021 (1)
  • ▼  2020 (6)
    • ▼  November 2020 (1)
      • Bagaimana Jika Nanti
    • ►  June 2020 (1)
      • Bolehkah?
    • ►  May 2020 (1)
      • 12-05-2020: bertumbuh
    • ►  February 2020 (2)
      • Berdamai dengan Rasa yang (masih) Ada
      • 02.02.2020
    • ►  January 2020 (1)
      • Semesta, Cita-cita, dan Pergeserannya

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
Powered by Blogger.

Created with by ThemeXpose | Delivered by Nur Hidayat