Pukul tiga dini hari, aku terbaring menghadap langit-langit kamar dengan tatapan yang kosong. Lelah. Khawatir. Takut. Bahuku terasa pegal dan berat saat kepalaku memikirkan beban-beban hidup--ah bukan--beban pikiran saja sepertinya. Tapi ternyata, sulit yah, menjadi dewasa. Kemudian aku menarik napas panjang berusaha melonggarkan dada yang semakin sesak dengan rasa ketidakberdayaan.
Lambat laun muncul pertanyaan-pertanyaan yang diawali dengan "bagaimana jika nanti..." silih berganti di lorong-lorong kepala yang tak lagi kosong. Mereka mengacaukanku yang tengah berusaha memejamkan mata menjemput mimpi di alam sana. Dan aku menjadi benar-benar takut--dan payah.
Gemericik hujan di luar seperti menderamatisir suasana. Memperjelas kekhawatiran anak manusia yang masih tidak tahu apa-apa diusianya yang hampir kepala dua. Aku takut dengan hidup, takut dengan keputusan-keputusan besar yang akan kuambil di depan, takut dengan tanggungjawab yang pasti akan kuemban. Aku yang rapuh ini, apakah bisa? Lagi-lagi kepalaku memunculkan pertanyaan dengan awalan "Bagaimana jika nanti...". Sungguh ini adalah beban.
Aku belum tahu jawabannya sekarang. Kepalaku masih riuh dan kacau. Ingin rasanya aku cepat-cepat menyudahi semua ini tapi semesta selalu saja begitu. Saat kuingin berjalan cepat, semesta memintaku berjalan perlahan, merasakan semua perih, luka, dan sakit yang--katanya--akan mendewasakan.
Tapi bisa apa aku dalam semalam?
Ingin rasanya aku membersamai hujan di luar sana. Jatuh dari langit lalu menguap esok harinya tanpa peduli apakah aku akan kembali menjadi awan atau justru diterbangkan angin sampai menghilang. Tapi benarkah itu yang aku mau?
Pagi nanti masih ada mama yang akan tersenyum pada anaknya ini, yang belum bisa mandiri. Siang nanti ada ayah yang minum kopi sambil bercerita tentang harapannya yang belum terpenuhi. Lalu apa yang akan aku tunjukan pada rumput-rumput liar di balik pagar rumah itu jika aku menyerah secepat ini. "Bagaimana jika nanti..." AH!
Kapan ini semua akan selesai?