Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang
tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu merasa
bahwa waktu menjadi begitu cepat tiap kali kita membuka obrolan virtual setiap
malam? Seolah-olah dering telfonmu baru kudengar satu menit yang lalu, tapi
ternyata sudah tiga jam kita berbicara ini dan itu.
Namun malam ini berbeda. Waktu berjalan sangat lambat
padahal kepala kita sudah lelah berlarian mencari jalan keluar tercepat. Telfon
sudah kita matikan padahal duga-duga yang kita simpan sendiri masih menggantung
di ambang kata yang tak berhasil kita suarakan. Seandainya waktu hanya berlalu
dan tidak memberikan apapun, mungkin malam kita akan baik-baik saja.
Seandainya waktu tidak memberikan apapun, mungkin empat
puluh empat hari kita kemarin, hanya akan terasa seperti durasi kosong yang
dihabiskan lalu terlupakan dengan mudah. Tapi nyatanya tidak. Nyatanya waktu
selalu memberi apapun tanpa diminta. Dan brengseknya, waktu juga bisa merenggutnya
dengan paksa.
Ada banyak hal yang sekarang sudah menjelma kamu. Seperti
hujan dan petir, mantel biru yang tak bersaku, perdebatan tentang minumanku yang
manis tapi pahit di lidahmu. Bahkan kepalaku, yang meski tidak kuminta, pasti akan
selalu menoleh ke arah jalan yang menuju ke rumahmu. Kebiasaan-kebiasaan
sebelum tidur, sebelum memulai hari, dan pertanyaan tentang ‘besok agenda kamu
apa?’ sudah mendarah di tubuhku. Rasa-rasanya, waktu telah memberiku sangat
banyak.
Kedatanganmu, pelukmu, perasaanmu yang membalas rasaku
dengan setimpal. Lantas apakah semuanya akan hilang begitu saja? Apa waktu akan
merenggutnya dengan paksa?
Memangnya aku punya salah apa, Semesta? Lahirku, saja
kamu yang atur kan? Kehilanganku juga kamu yang atur. Bisa apa aku?
Bercandamu sudah keterlaluan sekarang!