• Home
  • About
  • Contact
    • Email
    • Instagram
  • Category
    • Timelapse
    • Thoughts
    • Renjana
  • Kebijakan Privasi
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

LUMINOUS

when it's all dark, the only thing we need is a light

 


Kita selesaikan saja, ya?

Aku sendiri, kamu sendiri, tidak ada lagi kita. Bisakah?

Mari kita tamatkan apa yang sejujurnya hampir kita mulai. Mari kita letakkan pertanyaan-pertanyaan tanpa menduga-duga apa jawabannya. Mari kita tinggalkan semua yang ada pada kepala dan dada kita, tanpa perayaan, tanpa pertemuan, tanpa air mata yang mengalir dengan tidak sopan. Kita mulai cerita yang baru.

Bisakah?

Meninggalkan cerita lama di awal pertemuan kita. Cerita saat mata kita bertemu pada satu titik yang sama. Cerita saat kita masih mengenakan pakaian yang sama, hitam, putih. Cerita tentang onion ring dan nasi goreng seafood di bahu jalan. Hanya menatap ke depan. Tidak menoleh. Tidak mengingat-ingat. Tidak menangis karena rindu.

Bisakah?

Kita tidak saling membenci, bukan? Tidak akan ada yang merasa tertahan ataupun menahan. Tidak ada yang menunggu. Tidak ada yang terburu-buru.

Kita sudah terbiasa, kan? Tidak marah. Tidak mencari di mana atau siapa yang salah. Tidak berselisih.

Kita selesaikan saja, ya. Tidak perlu kembali jika hanya untuk mengucap sampai jumpa atau kalimat “aku pergi ya” untuk kedua kalinya.


Kita selesaikan saja. Ya?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Beberapa hari terakhir, saya disibukkan dengan ujian. OSCA, OSCE, Ujian Tulis, Ujian Hidup. Rasa-rasanya Ujian Hidup sudah ada sejak lama, tapi tidak apa-apa. Saya tuliskan juga. Hampir setiap hari dihabiskan untuk menghafal prosedur tindakan, penghitungan, pengkajian. Tapi pada akhirnya tidak memuaskan sama sekali. Saya tidak mempelajari hal-hal minor yang seharusnya dianggap penting. Saya melakukan prosedur dengan urutan yang benar namun ada hal yang terlewat hanya karena ingin bergerak cepat.

Beberapa notifikasi dari tim redaksi jurnal yang menghubungi saya juga turut membuat Desember ini menjadi gaduh. Kabar baik dan kabar buruk datang bersamaan. Kabar baiknya, artikel saya layak publikasi. Kabar buruknya, saya harus merevisi beberapa hal yang saya sendiri belum tahu bagaimana cara merevisinya. Belum mempelajari tentang hal itu. Dan setelah saya telisik, ternyata itu adalah hal dasar yang seharusnya dikuasai sebelum melakukan penelitian.

Dan dari sana, ada satu hal buruk yang saya sadari dari diri sendiri

Saya belum bisa berjalan pelan-pelan dan sering melewatkan banyak hal. Padahal hidup bukan arena lari cepat. Saya terlalu terburu-buru mencapai sesuatu padahal, Tuhan saja membuat bumi dan seisinya tidak dalam satu hari, tidak sombong meskipun menciptakan semesta dalam sehari saja sangat mungkin bagi-Nya. Tapi saya, yang masih remahan ini merasa sangat ingin berjalan dengan cepat. Mencapai sesuatu secepat mungkin. Semakin cepat semakin bagus. Tapi seringnya, malah banyak hal tertinggal. 

Saya sudah tidak lagi menyamai langkah kaki orang lain dan memilih langkah yang berbeda. Tapi, saya belum bisa mengontrol langkah kaki saya sendiri. Melangkah terlalu lebar. Melewati banyak rambu dan pijakan. Payah!

Jadi semoga, tahun 2022 bisa berjalan dengan pelan. Semoga saya tidak melewatkan hal-hal minor. Semoga tidak (lagi) terburu-buru mencapai sesuatu. Sebab hidup bukan arena berlari cepat, jadi saya berharap saya bisa memproses semuanya; pelan-pelan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Mungkin ini bukanlah hal yang baru untukmu. Kamu menghela napas, kesal, sebab lagi-lagi malam sudah hampir habis sedangkan kamu masih bertahan, belum mengantuk. Matamu sama sekali belum tertutup, yang ia lakukan hanya berkelana menatapi sudut-sudut kamarmu yang usang, mengikuti gerakan jarum jam di dinding, dan sesekali menatap ke luar. Di luar sangat sepi. Di kamarmu juga sepi. Tidak ada suara lain selain suara di dalam kepalamu sendiri. Hanya di kepalamu yang ramai. Entah ramai karena apa.

Kamu memikirkan tentang masa depan. Tentang bagaimana nanti, bagaimana besok, bagaimana hidupmu di usia dua puluh lima kelak. Tak berapa lama kemudian, kamu memikirkan tentang masa lalu. Mengingat kesalahan-kesalahan yang pernah kamu perbuat kepada orang lain. Kamu merasa bersalah kepada orang lain. Mempertanyakan apakah kamu sekarang adalah orang yang jahat karena pernah melakukan kesalahan di masa lalu.

Tak berapa lama, ingatan tentang hal-hal konyol dan ceroboh di masa lalu muncul. Kamu ingat bahwa hal-hal itu yang pernah membuatmu merasa malu. Kamu menyesal. Kamu mengutuki diri sendiri karena telah bersikap bodoh. Lalu kamu tertawa. Menertawakan diri sendiri yang sama sekali tidak bisa memisahkan perasaan dan pikirannya sendiri. Kemudian kamu bingung dan bertanya. “Aku kenapa sih?”

Tenang....

Percayalah bahwa kamu tidak sendiri. Tidak hanya kamu yang merasakan hal ini.

Dalam hidup, kita pasti akan melakukan kesalahan. Pasti. Disengaja ataupun tidak, tak ada manusia yang luput dari kesalahan. Terlepas dari rasa sesal yang kamu rasakan, ketahuilah bahwa hidup terus berjalan. Tidak baik bagimu untuk terus membawa rasa sesal itu. Rasa sesal hanya akan menggerogotimu. Perlahan-lahan langkahmu akan terhenti hanya karena penyesalan. Kamu tidak mau, kan?

Lantas lepaskan semuanya.

Ketika kamu banyak pikiran, perasaanmu naik dan turun, maka berhentilah sejenak. Stop. Pejamkan matamu dan bernapaslah dengan tenang. Sadari bahwa kamu sedang hidup. Kamu sedang bernapas. Apapun yang terjadi, yang perlu dilakukan adalah sadar. Jika sulit bagimu untuk menyadari, maka diamlah. Kesunyian adalah semesta itu sendiri.

Kamu sudah pernah membaca kan bahwa diri kita adalah ketenangan yang stabil? Bebanmu bukanlah kamu. Sadari bahwa beban dan dirimu adalah dua hal yang terpisah. Maka lepaskan.

Menangislah jika perlu. Menjerit, kalau itu maumu. Sesekali meledaklah. Bagi perasaanmu kepada langit-langit kamar, dengan bantal guling di sebelahmu. Dengarkan lagu sedih, jika itu membuatmu lebih lega. Sampaikan pada doa-doa bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja. Sadari bahwa kamu menangis bukan karena lemah. Melainkan karena kamu sudah terlalu kuat menahan semuanya. Menampung semua beban; sendirian.

Jangan menolak perasaanmu sendiri. Jangan menolak apapun. Terima. Sebab beberapa hal tidak bisa diubah, maka terimalah.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Setelah tidak denganmu, aku menyadari bahwa ada banyak hal yang ternyata tidak ikut berakhir meski babak cerita kita telah selesai. Mengkhawatirkanmu misalnya. Merindukanmu. Memikirkanmu. Selalu ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Itu semua adalah hal yang tidak pernah selesai meski kita telah berpisah. Mustahil rasanya untuk menyudahi apa yang sejujurnya—oleh hati—masih ingin dilanjutkan. Mustahil rasanya untuk melupakan apa yang—oleh hati—masih diingat-ingat dengan kuat.

Aku gagal dalam mempertahankan kita, dulu.

Dan sekarang,

aku juga gagal dalam hal melepaskanmu.

Aku pernah mencari-cari alasan dan menghindari semua kemungkinan yang memungkinkan aku bertemu kamu hanya agar bisa membuat diriku tenang. Membuat diriku tidak lagi berharap. Tapi nyatanya, semakin banyak alasan yang kucari untuk berhenti mengharapkanmu, semakin banyak kutemukan alasan untuk bertahan dengan harapan itu.

Aku sadar, bahwa tidak semua harapan berhak untuk hidup. Tidak semua harapan benar untuk diutarakan—dengan buru-buru. Terkadang harapan sudah cukup hanya untuk disimpan—dan dikelangitkan. Sebab menyembuhkan luka tidaklah mudah. Dan harapan yang disampaikan dengan cara yang salah, bisa menjadi penyebab luka yang kembali berdarah-darah.

Dan aku tidak ingin membuatmu terluka—untuk kedua kalinya.

Meskipun aku tetap mencintaimu dan berharap bisa kembali denganmu. Tapi ada batasan yang harus aku ikatkan pada tubuhku sendiri. Ada batasan yang—saat ini—tidak bisa aku lewati. Meski rasa ingin memperjuangkanmu besar adanya, tapi tetap ini harus ada batasnya. Sebab aku belum tentu mampu melewati batasan itu. Batasan yang tanpa kubuat sendiri pun sudah ada padamu. Batasan yang menunjukan bahwa aku dan kamu tidak berada pada satu strata yang sama. Adalah hal yang salah jika aku membuatmu menunggu sampai langkah kaki ini bisa menapak di dasar yang sama dengan tempatmu yang amat jauh.

Sungguh melepaskanmu aku tidak mampu,

Tapi menggapaimu juga aku butuh waktu.

Entah kapan. Mungkin nanti. Pasti,

Tapi tidak sekarang.

Yang sekarang aku lakukan adalah sebisa mungkin tidak membuat jarak dengamu. Sebab rindu tercipta dari jarak. Dan tidak ada rindu yang tidak mendesak temu.

Yang sekarang aku lakukan adalah tidak menahanmu. Sebab melihatmu bisa terbang dengan bebas sungguh lebih baik daripada harus melihatmu tertahan dan tidak nyaman dalam waktu yang entah sampai kapan.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Sejak awal, sejak pertemuan pertama yang sama sekali tidak kita rencanakan, aku mencintaimu. Aku tidak paham bagaimana semesta bisa membelokkan tubuhku ke kotamu, bertemu kamu, dan mengenalmu dengan baik. Kita adalah kita yang sama-sama terlahir tanpa tahu seperti apa Tuhan merencanakan hidup, tanpa tahu seperti apa garis yang digoreskan untuk kita lewati atau siapa saja orang yang akan kita temui. Dan pertemuan kita, adalah rencana Tuhan yang paling tidak terduga, tapi aku sangat mensyukurinya. Aku  bersyukur dipertemukan denganmu meski pada akhirnya kita hanyalah kita yang sebatas hampir pernah bersama.

Di balik perpisahan kita yang terpaksa, ketahuilah bahwa aku mencintaimu!

Aku selalu menyayangimu. Bahkan dari awal pertama paragraf ini dimulai, sudah kusampaikan bahwa aku mencintaimu. Namun setiap awal memang selalu terasa manis kan? Yang pahit adalah akhirnya. Dan pertemuan kita tidak salah. Perasaan kita adalah benar. Yang salah adalah kita yang tidak bisa saling mempertahankan dengan baik. Tapi sekali lagi, aku bersyukur bertemu denganmu. Walau tidak lama, tapi aku tidak pernah menyesali pertemuan kita.

Aku kalah.

Satu-satunya pemenang dalam hal ini adalah doaku yang selalu memohon kepada Tuhan agar kamu bahagia. Dan mungkin, menurut Tuhan, bukan aku orang yang akan membahagiakanmu. Mungkin, Tuhan punya pendapat yang berbeda tentang aku untukmu. Mungkin Tuhan berpikir bahwa aku tidak cukup mampu untuk membentangkan senyum indah diwajahmu setiap harinya.

Tapi tahukah kamu bahwa alasan-alasan ini adalah alasan yang kubuat sendiri untuk bisa tahan dengan rasa kehilangan? Tahukah kamu dibalik semuanya aku masih merengek di hadapan Tuhan untuk memintamu kembali?

Tidak perlu terlalu cepat. Aku tidak masalah jika harus menunggu beberapa waktu yang lebih lama. Sungguh tidak apa-apa. Perpisahan ini tidak akan ada apa-apaanya jika suatu hari nanti, Tuhan benar-benar mengizinkan kita bertemu kembali. Bukan sebagai dua orang yang asing. Melainkan dua orang yang sama-sama sudah lebih baik. Terutama aku,


yang semoga sudah lebih pantas untukmu.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

// I'm jealous of the poem you've made

You keep your eyes open at night

Thinkin'

Which word would fits,

Which words were not //


// I'm jealous of the poem you've made

You gave all of your attention

All of your emotions //


// I hate the poem you've made

You skip your lunch. Let your

lips dry. Just to keep it

alive //


// I hate the poem you've made

It contains your favorite name

But it's not mine instead //

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Inti dari diri kita yang sebenarnya adalah ketenangan yang stabil. Dia di dalam sana, tenang dan hening. Hanya saja, terkadang, emosi dan pikiran berhasil membuat jiwa seolah-olah kacau dan berantakan. Pada dasarnya, emosi dan pikiran tidaklah berbeda dengan ombak di laut, bayang-bayang di cermin, awan hitam di langit, dan ampas kopi di dasar cangkir.

Seperti langit, diri kita adalah padang yang luas, kosong, tenang, dan stabil. Emosi dan pikiran adalah awan dan hujan yang hanya menyelimutinya. Langit bisa gelap ataupun terang. Langit menerima segala jenis cuaca. Tapi bukankah semua itu hanya sementara? Jika hujan adalah tangis maka itu hanya sementara. Pun, jika awan cerah adalah bahagia, itu hanya sementara. Cuaca datang dan berlalu begitu saja. Semua emosi dan pikiran hanyalah cuaca yang datang dan pergi, sedangkan diri kita adalah langit yang selalu kembali lapang, tenang, dan stabil

Agak sulit diterima mungkin tapi, diri kita itu tidak jauh berbeda dengan cangkir. Perasaan dan pikiran kita adalah objek yang mengisi cangkir itu. Bisa panas, dingin, atau biasa saja. Bisa manis, pahit, asam, atau tidak berasa. Bisa jernih, pekat, ataupun berampas. Tapi bukankah semua itu hanya sementara? Air dalam cangkir bisa diganti dengan apapun. Dan setelah dicuci, cangkir akan bersih kembali—seperti diri kita.

Diri kita serupa cermin. Dia bisa merefleksikan semua objek tanpa pandang-pilih. Tapi cermin akan kembali bersih setelah objek di depannya tidak ada. Emosi dan pikiran-pikiran adalah objek yang bisa terproyeksikan kapanpun. Kita yang adalah cermin harus menyadari bahwa proyeksi hanya muncul saat objek sedang berada di depannya. Pada akhirnya kita akan memahami bahwa emosi dan pikiran hanyalah sementara. Saat objek itu menghilang—atau dihilangkan, semua akan bersih seperti semula.

Emosi dan pikiran selayaknya ombak yang hanya ada di pinggir lautan. Di tengahnya, laut tetap tenang dan hening. Badai bisa saja datang, petir bisa saja menyambar. Tapi badai dan petir akan pergi beberapa saat kemudian. Sama halnya dengan amarah. Sama halnya dengan gembira. Perubahan fenomena di lautan hanyalah sementara, tapi laut menerima semuanya. Seperti diri kita,

Diri kita siap menampung semuanya,

Menjadi tempat atas segala emosi dan pikiran

Tapi pada akhirnya semua hanya sementara

Pada akhirnya kita adalah ketenangan yang stabil—yang siap menampung emosi dan pikiran (baru) yang lain

Share
Tweet
Pin
Share
4 komentar

Hidup adalah kanvas yang luas dan tidak terhingga. Kita bebas melukisnya, menggunakan ego dan hasrat yang kita punya. Tapi..., kanvas yang sedang kita lukiskan rencana hidup, adalah air. Merencanakan hidup sama halnya dengan melukis di atas air. Akankah lukisan itu menghasilkan sesuatu yang pasti? Tidak. Apakah mudah? Tidak. Mungkinkah terwujud tanpa hambatan, tanpa gemericik pengganggu, tanpa gelombang yang menghapuskan semua goresan yang telah kita lukis di atasnya? Tidak.

Ya,

Merencanakan hidup adalah melukis di atas air. Tidak akan sesuai rencana. Ada kecerdasan lain—di atas kecerdasan manusia—yang mengatur bagaimana lukisan kita akan terbentuk pada akhirnya. Itu adalah kecerdasan kosmik—aku sering menyebutnya semesta. Semesta tidak pernah membiarkan hidup berjalan selalu sesuai rencana. Tapi ini hal baik

Hidup yang tidak selalu sesuai rencana adalah hal baik. Sebab sering kali, rencana yang kita buat adalah rencana egois. Rencana untuk kepuasan sementara. Atau rencana-rencana yang serakah—dan merusak

Ketika rencana itu gagal, maka berhenti di sini, saat ini. Sadar dan utuh. Perhatikan bahwa semesta sedang bekerja.  Perubahan dalam rencana hadir hanya untuk diamati dan disadari. Pada akhirnya kita harus kembali kepada kanvas kita yang sebenarnya. Ketidakpastian, kecewa, marah mungkin akan hadir tapi pada dasarnya jiwa kita adalah ketenangan yang stabil. Emosi dan harapan hanya gemericik air di atas kanvas kita yang tenang.

Merencanakan hidup adalah melukis di atas air. Setiap gelombang berhenti akibat adanya gelombang lain yang lebih besar—dan berbeda arah. Sama halnya dengan kita. Ketika rencana gagal, maka ada rencana lain—yang lebih besar dan berbeda arah—sedang bekerja untuk kita. Lagi-lagi hanya perlu diamati dan disadari.

Terkadang,

Tidak semua memiliki jalan keluar. Dan jika itu terjadi, ya sudah. Kita harus kembali berhenti di sini, saat ini. Sadar dan utuh. Merencanakan hidup adalah melukis di atas air, bukan batu. Untuknya kita harus siap berubah dan mengalir. Tidaklah mungkin menggunakan hanya satu rencana untuk merencanakan hidup, untuknya kita harus berencana dan siap untuk mengubahnya.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Sekarang dengar,

Tak peduli sekeras ataupun sekurang apa pun kamu berjuang, semua sudah diramu oleh Tuhan. Tanganmu tidak akan pernah menang melawan tangan-Nya. Jadi, alih-alih mengkhawatirkan apa yang akan terjadi ke depan, mengapa tidak kau percayakan saja pada yang sudah andal? Ya. Semesta.

Aku tahu, kamu sudah pernah membaca tentang “Semesta, Cita-cita dan Pergeserannya” bukan? Kamu begitu mahir mengartikan semesta dan mengikuti apa maunya ketika itu. Jadi sekarang, mengapa harus mengikuti langkah orang lain, jika bisa mencoba langkah yang berbeda? Mengapa harus menyamakan langkah jika kamu justru lebih pandai dalam menikmatinya?

Jangan pernah lupa bahwa sejatinya, manusia dilahirkan utuh bersama dengan senang dan sedih;

Menang dan kalah,

Luka dan cinta,

Percaya dan kecewa,

Mudah dan sulit,

Lelah dan syukur.

Kamu sudah berjalan di atas jalur yang semestinya. Sudah sesuai dengan rencana Tuhan. Tidak ada yang salah. Kamu dibuat lemah agar saat kamu sudah lebih kuat, kamu tidak congkak dan menindas lainnya. Kamu dibuat kalah agar saat mendapat kemenangan, kamu tidak membusungkan dada melainkan menghargainya. Pun dengan sedih, kamu banyak merasakannya agar nanti, jika suatu hari badai besar hadir di dadamu, kamu sudah terbiasa dan mahir meredamnya. Tuhan begitu baik memberikanmu masa-masa yang sulit, semata-mata untuk menyulut jiwamu yang sebenarnya.

Kamu terus memikirkan tentang “Bagaimana Jika Nanti” padahal Tuhan sudah merencakan banyak hal untukmu, dan rencana-Nya adalah yang paling baik. Lihat lagi ke belakang, setelah masa sulit, bukankah hal sederhana bisa menjadi suatu yang sangat istimewa?

Tenanglah, semesta menaungimu. Dan segeralah dewasa. Ambil langkah yang berbeda: langkah yang bisa kamu nikmati selama perjalanannya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

Renjana (13) Timelapse (5) Thoughts (3)

Kamu Pembaca yang Ke-

Followers

Popular Posts

  • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
      Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu meras...
  • Satu-satunya, Segalanya
    Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah har...
  • HALU: SUATU HARI NANTI
      Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan leng...

Blog Archive

  • ►  2022 (6)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  October 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  May 2022 (2)
    • ►  January 2022 (1)
  • ▼  2021 (9)
    • ▼  December 2021 (3)
      • Akhir dari Pertanyaan
      • PELAN-PELAN, HIDUP BUKAN ARENA LARI CEPAT
      • Meledaklah, Sesekali
    • ►  October 2021 (3)
      • PASTI, TAPI TIDAK SEKARANG
      • Yang Tidak ada Apa-apanya
      • You Name It
    • ►  September 2021 (2)
      • DIRI KITA ADALAH KETENANGAN YANG STABIL
      • MERENCANAKAN HIDUP ADALAH MELUKIS DI ATAS AIR
    • ►  January 2021 (1)
      • LANGKAH YANG BERBEDA
  • ►  2020 (6)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  June 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  February 2020 (2)
    • ►  January 2020 (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
Powered by Blogger.

Created with by ThemeXpose | Delivered by Nur Hidayat