• Home
  • About
  • Contact
    • Email
    • Instagram
  • Category
    • Timelapse
    • Thoughts
    • Renjana
  • Kebijakan Privasi
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

LUMINOUS

when it's all dark, the only thing we need is a light

 



Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan lenganku di tubuhmu yang kecil dan melihat tanganmu begitu terampil dalam mengiris, menggoreng, dan menabur bumbu di masakan yang akan jadi sarapanku.

Mengapa kau begitu mahir? tanyaku.

Mendengar pertanyaan itu, kamu menghentikan sejenak aktivitas memasakmu dan menatapku jahil. “Masih tanya kenapa?"

Aku mengangguk seperti anak anjing yang polos dan tidak tahu apa-apa.  Kamu berdecak. "Tentu saja karena suamiku yang bawel ini, akan mengomel-ngomel jika sarapannya tidak enak!”

Aku cekikikan. Ah tidak ah! ucapku menyangkal.

Bersamaan dengan kamu yang melanjutkan aktivitas memasakmu, aku diam-diam meletakan daguku di pundakmu. Mendekatkan mulutku ke telingamu. Makasih ya Sayang, makananmu selalu enak!

Mendengar hal itu, kamu menjadi salah tingkah. “Awas ah sana!” usirmu.

***

Hal apa yang lebih nyaman daripada menonton tv di malam hari yang hujan? Hal itu adalah berbaring di atas pangkuanmu sambil merasakan tanganmu yang menelusuri sela-sela rambutku, mengelus alis dan hidungku hingga aku terlelap. Lalu jika kusadari usapan itu berhenti, aku menatap ke arahmu, memastikan apakah kamu sudah tidur atau sedang terhanyut dalam tontonanmu.

Jika kamu tertidur, tentu, sudah jadi tugasku untuk menggendongmu ke tempat tidur. Tapi jika tidak, aku akan jahil. Merengek minta Ayo elus lagi!

Kamu akan menatapku sebal setiap kali mendengar rengekanku. Tapi tetap saja. Kamu akan tetap menurut. Kamu akan bilang “Iya, iyaaa. Ayo cepat tidur lagi.” Dan aku akan kembali memejamkan mata, mengulangi hal yang sama. 

***

Percayalah bahwa bagiku, hal apapun akan menjadi lebih baik selama itu dilakukan dengan kamu. Tanpa kecuali. Meskipun kita baru bisa berkhayal dan merencanakan. Tapi kamu selalu bilang tidak apa-apa. Semua ada waktunya. Dan kita, masih bisa menikmati durasi yang kita punya untuk berkhayal sepuasnya tentang suatu hari di masa yang akan datang.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah harapan yang menjadi tumpuan dari semua perjuangan yang aku lakukan. Kamu adalah satu-satunya hal di dunia ini yang tak akan aku lepas. Tak akan kubiarkan kau menjelma kenangan lalu menghilang dimakan waktu. Meski pada akhirnya kau dan aku mati, aku akan tetap membuatmu abadi. Biar saja jika waktu ingin fana, Kau akan tetap denganku melewati batas yang lebih lama dari kata selamanya.

Percayalah bahwa rasaku kepadamu bukanlah perasaan biasa yang akan hilang karena bosan. Pun bukanlah perasaan yang hanya muncul karena penasaran. Ada nyaman yang selalu hadir setiap kali Kau merapikan rambutku. Ada bahagia yang kurasakan setiap kali kupandangi matamu lalu kutemukan semua hal yang kumau di dalamnya. Ada hangat yang kutemukan dari pelukmu. Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan setiap kali mata kita bertemu pada satu titik yang sama. Dan aku tidaklah berpura-pura saat kukatakan bahwa aku benar-benar mencintaimu. Kamulah satu-satunya orang yang aku mau.

Kini baru kusadari bahwa sebelumnya aku tak pernah segigih ini dalam mencintai seseorang. Manusia datang dan pergi, itu sudah menjadi hukum alam tapi perihal kamu, berjanjilah bahwa kamu tidak akan pergi meski seberat apapun rintangannya.

Satu-satunya manusia yang berhak atas damai di antara lengkungan lenganku, atas nyaman dari usapan jari-jemariku yang membelai helai rambut di kepala, atas rebah yang tentram di dada atau kecup manis di lengangnya pagi hari, pada hujan yang deras di malam yang sunyi, serta pada keheningan-keheningan yang magis; satu-satunya manusia yang berhak atas semua hal itu adalah kamu.

Jadi, kumohon tetaplah bersamaku. Tumbuh dan membaru hingga kita menjelma dua manusia yang selalu berubah menjadi lebih baik. Ajarkan aku dewasa dengan cara mencintaimu sepenuhnya. Temani aku hingga kita tiba pada tujuan-tujuan yang telah kita rencakan. Hingga bertambah pencapaian atas impian-impian kita. Jadilah rumah untuk aku pulang. Jadilah tempat berteduh untuk setiap peluh yang jatuh saat kita saling memperjuangkan. Jadilah satu-satunya. Jadilah segalanya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu merasa bahwa waktu menjadi begitu cepat tiap kali kita membuka obrolan virtual setiap malam? Seolah-olah dering telfonmu baru kudengar satu menit yang lalu, tapi ternyata sudah tiga jam kita berbicara ini dan itu.

Namun malam ini berbeda. Waktu berjalan sangat lambat padahal kepala kita sudah lelah berlarian mencari jalan keluar tercepat. Telfon sudah kita matikan padahal duga-duga yang kita simpan sendiri masih menggantung di ambang kata yang tak berhasil kita suarakan. Seandainya waktu hanya berlalu dan tidak memberikan apapun, mungkin malam kita akan baik-baik saja.

Seandainya waktu tidak memberikan apapun, mungkin empat puluh empat hari kita kemarin, hanya akan terasa seperti durasi kosong yang dihabiskan lalu terlupakan dengan mudah. Tapi nyatanya tidak. Nyatanya waktu selalu memberi apapun tanpa diminta. Dan brengseknya, waktu juga bisa merenggutnya dengan paksa.

Ada banyak hal yang sekarang sudah menjelma kamu. Seperti hujan dan petir, mantel biru yang tak bersaku, perdebatan tentang minumanku yang manis tapi pahit di lidahmu. Bahkan kepalaku, yang meski tidak kuminta, pasti akan selalu menoleh ke arah jalan yang menuju ke rumahmu. Kebiasaan-kebiasaan sebelum tidur, sebelum memulai hari, dan pertanyaan tentang ‘besok agenda kamu apa?’ sudah mendarah di tubuhku. Rasa-rasanya, waktu telah memberiku sangat banyak.

Kedatanganmu, pelukmu, perasaanmu yang membalas rasaku dengan setimpal. Lantas apakah semuanya akan hilang begitu saja? Apa waktu akan merenggutnya dengan paksa?

Memangnya aku punya salah apa, Semesta? Lahirku, saja kamu yang atur kan? Kehilanganku juga kamu yang atur. Bisa apa aku?

Bercandamu sudah keterlaluan sekarang!


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Kita duduk pada satu sudut ruangan cafe yang lumayan sepi. Kepalaku masih mengingat dengan sangat jelas garis-garis membentuk kepiting yang terpajang di banyak sudut cafe ini. Cafe yang tidak asing bagiku tapi menjadi kali pertama bagimu. Sorot lampu yang redup di atas kepala kita seolah berusaha menyembunyikan wajahmu dari pandanganku. Tapi sayangnya, pesonamu jauh lebih cerah daripada sorot lampu itu.

Di tempat ini, kita sudah cukup lama duduk berhadap-hadapan, saling memandang, dan saling memalingkan mata. Dan tanpa kita sadari, ada perasaan tak asing yang mengudara dan membentuk atmosfer hangat untuk kita. Padahal di luar gerimis dan ada dua AC yang menyala, tapi..., hatiku terasa hangat.

Waktu terasa begitu lambat karena kita menikmati setiap detiknya. Kita tidak sibuk dengan ponsel masing-masing ataupun tacos dan cheese paradise yang kita pesan. Kita justru sibuk membangun perbincangan yang bermakna tentang kerentanan, kekhawatiran, dan perasaan. Semakin dalam perbincangan kita, semakin kita menyadari bahwa kamu dan aku telah terlalu sibuk berpetualang memandang belahan dunia masing-masing.

Mata kita basah. Kepala kita berpacu pada kalimat-kalimat yang rumit. Namun sayangnya, bibir kita kelu, tenggorokan kita tercekat. Tak ada banyak hal yang bisa kita katakan, tapi ada beberapa hal yang kita pahami bersama-sama.

Bahwa keputusan yang lalu adalah salah. Aku tak seharusnya berhenti berjuang dan kau tak seharusnya berhenti mempertahankan. Bahwa perasaan kita tak pernah berubah. Kamu merindukanku, aku merindukanmu. Kita selalu merasa terikat. Seolah-olah selama petualangan kita memandang belahan bumi yang lain, kita membawa kompas yang rusak. Yang meski seberapapun jauh kita memutari bumi, kompas itu selalu menuntun kita pada satu titik temu yang sama.

Tak ada hal yang bisa kujanjikan padamu selain mengusahakan semampuku agar aku bisa (kembali) bersamamu. Bukan untuk sementara. Melainkan untuk waktu yang jauh lebih lama daripada selamanya. Aku tak ingin menggantungkan kejelasan hubungan kita dan membebanimu dengan banyak pikiran. Tapi, “Apakah ini semua akan berhasil?”

Aku pun tidak tahu. Kamu juga ragu. Tapi kita adalah benar. Dan (hanya) kita yang sama-sama memahami bahwa dalam keadaan yang salah, hal yang benar sekalipun bisa terasa sangat meragukan.

Meski kau dan aku saling mau. Meski telah kita temukan satu titik temu. Belum tentu semesta mau memberi restu. Untuk itu, mari lakukan semampu kita. Berusaha dengan sungguh-sungguh. Dan sisanya, biarkan semesta yang bekerja. Ya?

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Satu malam penuh, aku ditemani oleh suara-suara nyaring yang bersahut-sahutan di luar sana. Orang berganti-gantian melantunkan takbir yang katanya, menyiratkan kebahagiaan menyambut datangnya perayaan fitri. Tapi jika direnungkan lagi, benar memang beberapa orang merasa senang. Tapi tidak semua. Beberapa lainnya merasa sedih. Lalu aku hanyut dalam pikiran-pikiran itu. Benarkah kita harus mengglorifikasi perayaan ini sementara ada sebagian orang lain yang sedang menangis?

Entah.

Menangis karena tidak bisa pulang, tidak bisa bertemu dengan saudaranya yang berbeda kota atau pulau. Atau menangis karena takut, tidak bisa menjamu orang-orang yang datang besok pagi. Atau menangis karena hal-hal yang mereka pendam sendiri, di bawah ramainya orang yang bergembira.

Sedih, di bawah kesenangan orang lain.

Apakah benar, mengganggu jam tidur orang dengan suara-suara yang asing bagi mereka, adalah hal yang dianjurkan?

Satu bulan penuh, aku ditempa untuk rendah hati dan menghargai orang lain. Menahan lapar dan haus, untuk merasakan bagaimana beberapa orang di luar sana kesulitan untuk makan dan minum. Satu bulan penuh dilatih untuk menghormati orang lain dan tidak berbuat buruk kepada mereka. Tapi rasanya semua hilang hanya dalam satu malam. Besok pagi, semua orang harus menjadi ‘pantas’ di kacamata orang lain.

Jujur, semua terasa hambar untukku. Perayaan tahun ini terlalu berat di kepala. Jauh berbeda dibandingkan dengan perayaan-perayaan sebelumnya, sebelum usiaku 20 tahun. Ketika kepalaku tidak terlalu liar berpikiran yang aneh-aneh. Ketika aku (yang dulu) merasa pintar dan tidak menanyakan banyak hal. Berbeda dengan sekarang. Sekarang saja aku bertanya-tanya.,

Ketika aku tidak merasa tidak begitu senang dengan perayaan ini, apakah aku lantas dikategorikan sebagai orang yang tidak bersyukur?

Entah.

*

Hari berganti. Warna-warni kulihat orang berjalan menyusuri gang yang biasanya sepi. Tentu itu hal baik. Bertamu dan mengunjungi saudara (read: tetangga) satu komplek tentu hal yang baik. Sayangnya hanya sekali setahun. Hanya beberapa menit, lalu pamit. Dan 365 hari ke depan, gang akan sepi lagi. Ingin heran, tapi itu manusia. Sama sepertiku, manusia.

Mari kita lihat hal ini sebagaimana adanya. Bukan ironi. Menganggap perayaan ini sebagai momentum untuk kembali menjadi manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial. Yang akan berinteraksi atau tidak berinteraksi.

Aku lihat beberapa orang menggunakan baju yang sama. Seragam. Batik warna ungu atau baju polos warna abu-abu. Terlihat kompak di tengah ramainya orang yang mengenakan baju dengan warna dan motif yang berbeda-beda. Tidak seragam. Sayangnya aku tidak bisa melihat isi hati dan kepala mereka. Dan jikalaupun ada hati yang merasa iri di sana, aku harap dadanya bisa lapang menerima semua perbedaan yang ia rasakan.

*

Kemudian tiba waktunya untuk saling minta maaf.

Lagi-lagi hal yang sejak dulu kuanggap biasa, kini menjadi hal yang begitu aneh dan abstrak. Aku terus berpikir tentang bagaimana mungkin, kesalahan yang terkumpul selama 365 hari (atau bahkan lebih lama dari itu) bisa hilang hanya dalam satu kalimat maaf?

Mengapa sekarang maaf jadi terdengar sangat biasa?

Mengapa permintaan maaf saat ini terdengar seperti tidak didasari atas rasa salah ataupun keinginan untuk memperbaiki kesalahan di hari berikutnya?

Apakah mereka, benar-benar tahu perbuatan apa yang salah dari mereka? Apakah benar, mereka merasa salah karenanya? Dan kemudian, aku dipaksa untuk memafkan, padahal memaafkan adalah sebuah proses panjang dari penerimaan yang didasari oleh pemahaman.

Untuk hal ini aku tidak bisa menanggapinya sendiri. Bagaimana jika aku adalah kalian?

Benarkah setelah hari ini, kalian tidak akan lagi mengingat kesalahan yang pernah diperbuat kepada kalian?

Benarkan setelah hari ini, tidak ada lagi marah yang bersemayam di hati kalian?

Benarkah setelah hari ini, rasa sakit dan terkhianati yang kalian alami tidak akan terasa lagi?

Benarkah setelah hari ini, hubungan kalian dengan orang yang kalian benci akan membaik?

Jangan bohong.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Pukul lima sore, aku duduk termenung menjadi saksi langit yang kian menjingga. Anak-anak kecil terlihat berlarian pergi ke mushola, mau mahgrib. Mungkin tak hanya aku, yang merasa bahwa disaat-saat demikian, suasana menjadi berubah. Tidak seperti jam-jam lainnya yang ‘biasa saja’. Suasana di sini berubah menjadi magis. Dan tiba-tiba aku terpikirkan tentang alasan-alasan yang.., mungkin, bisa membuatku tak bisa kembali denganmu.

Kenangan demi kenangan mencuat, mengembalikan ingatan tentang betapa bahagianya kita,  dulu. Lagi-lagi aku merindukanmu. Beruntung kita sempat bertemu beberapa waktu yang lalu. Bertukar sapa, bertukar cerita, dan banyak hal. Tak ada kesan yang lebih baik dibandingkan hadirmu. Sebab tak peduli seberapa banyak wajah yang kutemui, akan tetap terkalahkan oleh wajah yang selama ini kutunggu: wajahmu.

Namun, seberapapun banyaknya rindu yang aku punya, tak akan ada nilainya jika dihadapkan dengan kebodohan. Aku telah bodoh karena membuatmu patah dan berantakan. Tapi kebodohanku akan menjadi alasan kuat yang kedua.

Sekotak maaf masih kusimpan dengan baik. Ingin kuberikan sebenarnya,  jika suatu saat nanti ada kesempatan. Tapi beberapa hal menahanku untuk memberikannya kepadamu. Hal-hal yang ada di kepala, tentu saja. Kerap kali kupikir, maaf tidak berguna untuk kesalahan yang tidak biasa. Sedangkan aku sudah salah karena tidak mempertahankanmu. Aku salah karena menyerah. Aku salah, karena berhenti. Aku salah karena masih menahanmu dengan hal-hal yang tak kasat mata. Kesalahan-kesalahan yang tidak biasa.

Seberapa banyak pun kata maaf, tak akan ada nilainya jika dihadapkan dengan kekecewaan yang teramat sangat, kan? Dan kekecewaanmu, akan menjadi alasan yang paling kuat, yang mungkin membuatku tak bisa kembali.

Dan sekarang tanganku tak lagi bisa menggenggam tanganmu. Mataku tak lagi bisa menatap matamu tanpa membuat suasana menjadi canggung. Barangkali aku sudah hilang. Sudah tidak diinginkan. Dan itu menjadi alasan-alasan yang selanjutnya.

Terakhir, aku tak bisa lagi menetap di rumahku yang lama: hatimu, dengan alasan-alasan yang bisa jadi, hanya kamu yang tahu.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

Categories

Renjana (13) Timelapse (5) Thoughts (3)

Kamu Pembaca yang Ke-

Followers

Popular Posts

  • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
      Malam, pukul dua puluh dua, adalah jadwal kita untuk berbincang tentang banyak hal yang manis dan menyenangkan berdua. Tidakkah kamu meras...
  • Satu-satunya, Segalanya
    Kepada Kamu, seseorang yang telah kujatuhi cinta dengan penuh, percayalah bahwa kamu adalah satu-satunya sosok yang aku mau. Kamu adalah har...
  • HALU: SUATU HARI NANTI
      Hal apa yang lebih menyenangkan daripada menyantap sarapan enak di pagi hari? Hal itu adalah menemanimu di dapur sembari mengalungkan leng...

Blog Archive

  • ▼  2022 (6)
    • ▼  November 2022 (1)
      • HALU: SUATU HARI NANTI
    • ►  October 2022 (1)
      • Satu-satunya, Segalanya
    • ►  June 2022 (1)
      • Salah Apa Aku, Wahai Semesta?
    • ►  May 2022 (2)
      • Titik Temu
      • Perayaan, Maaf, dan Hal-hal Abstrak Lainnya
    • ►  January 2022 (1)
      • ALASAN-ALASAN (yang mungkin bisa membuat) AKU TAK ...
  • ►  2021 (9)
    • ►  December 2021 (3)
    • ►  October 2021 (3)
    • ►  September 2021 (2)
    • ►  January 2021 (1)
  • ►  2020 (6)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  June 2020 (1)
    • ►  May 2020 (1)
    • ►  February 2020 (2)
    • ►  January 2020 (1)

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube
Powered by Blogger.

Created with by ThemeXpose | Delivered by Nur Hidayat